Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pleidoi Markus Nari: Saya Mohon Hakim Tak Ragu Bebaskan Saya

Kompas.com - 04/11/2019, 20:44 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota Komisi II DPR RI Markus Nari berharap majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menjatuhkan putusan bebas atas dirinya.

Hal itu disampaikan Markus saat membaca nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/11/2019).

"Saya memohon kepada majelis hakim untuk dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada diri saya dengan melihat fakta persidangan secara keseluruhan dengan tidak hanya berpegang pada satu atau dua kesaksian yang membuat hilangnya keadilan tersebut," kata Markus.

"Dan oleh karena itu, saya mohon kepada majelis hakim agar tidak ragu untuk membebaskan saya seperti azas hukum lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah," sambung dia.

Baca juga: Markus Nari Kaget Dituntut 9 Tahun Penjara dalam Kasus E-KTP

Markus pun membantah sejumlah poin dakwaan terkait dirinya.

Ia mencontohkan dugaan penerimaan uang senilai Rp 4 miliar dari eks pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sugiharto.

Dalam persidangannya, kata Markus, Sugiharto mengaku menyerahkan uang senilai Rp 4 miliar ke Markus di sebuah kawasan gedung kosong di daerah Senayan.

Sugiharto mengaku mendapatkan informasi nilai uang itu dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Naragong.

Namun, Markus merujuk pada keterangan Andi di persidangan yang menyebutkan, tidak pernah menyerahkan uang senilai Rp 4 miliar lewat Sugiharto.

Markus mengklaim keterangan mantan Direktur Utama PT Quadra Solutions, Anang Sugiana Sudihardjo.
Pada intinya, Anang mengatakan tidak pernah memberikan uang ke Sugiharto yang diperuntukan bagi anggota DPR.

Markus juga membantah pernah menerima uang sebesar 500.000 dollar Amerika Serikat dari keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo terkait urusan e-KTP ini.

Selain itu, Markus membantah menekan koleganya sesama anggota Komisi II saat itu, Miryam S Haryani untuk tak menyebut namanya sebagai penerima aliran dana e-KTP di persidangan.

Markus juga membantah berupaya membujuk Sugiharto untuk tidak menyebut namanya dalam persidangan kasus e-KTP.

Baca juga: Markus Nari Bantah Bujuk Eks Pejabat Kemendagri Tak Sebut Namanya di Kasus E-KTP

Oleh karena itu, ia optimistis majelis hakim bisa membebaskan dirinya.

"Saya yakin yang mulia majelis hakim merupakan perpanjangan tangan Tuhan di dunia, hal mana majelis hakim dalam setiap memutuskan suatu perkara pertanggungjawabannya langsung kepada Tuhan," ujar Markus.

"Ditambah dengan integritas yang dimiliki dalam hal memberikan putusan akan selalu mengedepankan keadilan," sambung dia.

Markus sebelumnya didakwa atas dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik atau e-KTP. Ia juga didakwa merintangi proses peradilan kasus e-KTP.

Dalam dua dakwaan ini, Markus dituntut 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jaksa juga menuntut majelis hakim agar menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti ke Markus sebesar 900.000 dollar Amerika Serikat (AS) selambat-lambatnya 1 bulan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, jaksa juga menuntut agar hak politik Markus dicabut selama 5 tahun sejak ia selesai menjalani masa pidana pokoknya.

Markus dianggap jaksa terbukti memperkaya diri sebesar 900.000 dollar Amerika Serikat (AS) dalam pengadaan proyek e-KTP.

Baca juga: Markus Nari Dituntut Bayar Uang Pengganti 900.000 Dollar AS dan Pencabutan Hak Politik 5 Tahun

Menurut jaksa, Markus bersama pihak lainnya dan sejumlah perusahaan yang ikut dalam konsorsium pemenang pekerjaan paket e-KTP juga dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,31 triliun.

Menurut jaksa, Markus ikut berperan memengaruhi proses penganggaran dan pengadaan paket penerapan e-KTP secara nasional tahun anggaran 2011-2013.

Jaksa mengatakan, aliran uang untuk Markus sebenarnya merupakan bagian dari keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk membiayai proyek e-KTP tersebut.

Markus juga dinilai terbukti merintangi pemeriksaan mantan anggota Komisi II Miryam S Haryani dan merintangi pemeriksaan terdakwa mantan pejabat Kemendagri Sugiharto di persidangan kasus e-KTP. 

 

Kompas TV Mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Markus didakwa merintangi proses pemeriksaan dalam persidangan kasus korupsi KTP elektronik. Dalam persidangan jaksa menyebut Markus Nari telah sengaja mencegah dan merintangi secara langsung ataupun tidak langsung proses pemeriksaan di Sidang Pengadilan Kasus Korupsi KTP Elektronik untuk saksi Miryam S Haryani dan terdakwa Sugiharto. Markus juga didakwa menerima keuntungan dari proyek KTP elektronik sebesar 1,4 juta dollar Amerika Serikat jika dikonversikan ke nilai sekarang jumlahnya mencapai hampir Rp 20 miliar. Selain memperkaya diri sendiri Markus disebut menguntungkan orang lain dan korporasi. Markus Nari adalah tersangka kedelapan yang ditetapkan oleh KPK dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP Elektronik. Markus ditetapkan sebagai tersangka sejak Juli tahun 2017 dan ditahan pada awal April 2019. Dalam kasus KTP Elektronik Markus diduga berperan dalam memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek KTP Elektronik. #MarkusNari #KTPElektronik #SidangTipikor
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com