JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim konstitusi mempertanyakan alasan kuat pemohon dalam menguji Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Rabu (30/10/2019).
Sidang pemeriksaan dan pendahuluan perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh seorang advokat bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra.
Sidang tersebut dihadiri Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dan dua anggota majelis hakim, yakni Enny Nurbaningsih dan Wahiduddin Adams.
Baca juga: UU KPK Belum Bernomor, MK Nilai Pemohon Uji Materi Terburu-buru
Dalam sidang, Enny mempertanyakan banyaknya kutipan-kutipan dari media massa yang disampaikan Gregorius dalam permohonannya, khususnya soal mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 dalam proses revisi UU KPK.
"Dalam permohonan pemohon, banyak sekali mengutip berita dari media massa. Seharusnya berita di media massa dijadikan petunjuk saja, seperti apa proses pembentukan RUU sampai menjadi UU, di mana letak cacat formilnya di setiap proses pembentukan UU," ujar Enny.
"Dugaan adanya cacat formil dalam pembentukan UU KPK ini harus disertakan bukti-buktinya, misalnya tahap pertama di mana cacat formilnya. Itu harus dikuatkan sehingga bisa meyakinkan hakim, jangan hanya mengutip dari media massa," sambungnya.
Baca juga: Catatan MK kepada Pemohon Uji Materi Revisi UU KPK: Mirip Tugas Kuliah dan Perlu Perbaikan
Wahiduddin menambahkan, dalam uji formil yang diajukan pemohon, sejatinya fokus dalam proses dan tahapan revisi UU KPK, mulai dari persiapan, perencanaan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan.
"Kalau hanya mengutip dari koran saja, tanpa tahu di mana letak cacat formilnya, itu susah untuk meyakinkan hakim. Berita di koran hanya petunjuk saja," imbuhnya.
Dalam sidang, Gregorius menjelaskan, publik tidak dilibatkan dalam proses perancangan revisi UU KPK oleh DPR sehingga hal itu telah menciderai kepercayaan masyarakat.
Baca juga: UU KPK Hasil Revisi Resmi jadi UU Nomor 19 Tahun 2019
Proses pembahasan revisi UU KPK, lanjutnya, tidak ada partisipasi masyarakat dengan cara konsultasi publik seperti yang diatur Pasal 188 ayat (1-3) Perpres Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mulai proses penyiapan RUU, pembahasan RUU dan pengesahan menjadi UU, hingga pelaksanaan UU.
Dalam bagian petitum, Gregorius meminta MK mengabulkan permohonan untuk seluruhnya dengan membatalkan perubahan UU KPK ini. Sebab, dalam pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 secara formil tidak memenuhi syarat mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Pemohon Uji Materi UU KPK Berharap Jokowi Terbitkan Perppu
Selain itu, pemohon meminta agar Majelis MK menyatakan berlakunya Perubahan UU KPK secara formil tidak memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 dan harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
"Pemohon memandang UU KPK baru (hasil revisi) telah merugikan bagi pemohon yang berprofesi sebagai pengacara. Karena, dalam pembentukan UU KPK, DPR RI melakukan revisi UU dengan proses yang tertutup dan kucing-kucingan tanpa diskusi publik," ujar Gregorius.
Adapun hingga saat ini tiga perkara pengujian konstitusional UU KPK hasil revisi telah teregistrasi di MK.
Baca juga: Hakim MK Nilai Penjelasan Pemohon Uji Materi Revisi UU KPK seperti Tugas Kuliah
Dua permohonan lainnya adalah Perkara Nomor 57/PUU-XVII/2019 dan Perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019.
Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XVII/2019 adalah 190 orang yang mayoritas berstatus mahasiswa dari berbagai universitas.
Perkara tersebut telah melalui tahapan sidang pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan.
Sedangkan perkara Nomor 59/PUU-XVII/2019 22 dari mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah.
Perkara tersebut telah melalui tahapan sidang pemeriksaan pendahuluan dan perbaikan permohonan.