JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Hanura menjadi partai politik yang sejak awal mendukung Joko Widodo di pentas nasional. Namun, kini Hanura justru terbuang dari kabinet Jokowi.
Menjelang pemilihan presiden 2014, Hanura menjadi salah satu partai yang mau mengusung Jokowi, yang saat itu menggandeng Jusuf Kalla.
Hanura berkoalisi dengan PDI-P, Nasdem dan PKB.
Sementara partai lainnya yakni Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP memilih mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Baca juga: Wasekjen PPP Sebut PKPI, Hanura dan PBB Kecewa Tak Dapat Jatah Menteri
Hasilnya, meski kalah dari jumlah pengusung, Jokowi-Jk keluar sebagai pemenang pilpres.
Pasangan ini meraih 70.997.833 atau 53,15 persen.
Dua Menteri
Dukungan Partai Hanura akhirnya berbuah dua kursi menteri. Presiden Jokowi menunjuk dua kader Partai Hanura sebagai pembantunya.
Keduanya yakni Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Saleh Husin sebagai Menteri Perindustrian.
Jumlah itu lebih sedikit dari partai politik pendukung Jokowi lain. Namun, hal itu wajar mengingat Partai Hanura juga memiliki kursi paling sedikit di DPR ketimbang partai-partai lain.
Baca juga: Saat Hanura Tak Lagi Dapat Jatah Kursi Menteri...
Ketua Umum Partai Hanura saat itu, Wiranto, juga tidak menyatakan keberatan hanya mendapat jatah dua menteri.
"Kalau kita kan terserah presiden lah, kita enggak ada target-targetan. Tetap target saya adalah setelah perwakilan menteri dari Hanura terpilih, kemudian mereka dapat menjalankan tugas dengan baik," kata Wiranto usai menghadiri pelantikan kabinet, Oktober 2014 lalu.
Satu Menko
Seiring berjalannya pemerintahan Jokowi, peta politik mengalami perubahan.
Partai politik yang semula mendukung Prabowo-Hatta, mulai beralih mendukung Jokowi. Mulai dari PPP, disusul oleh Golkar hingga PAN.
Baca juga: Klaim Berdarah-darah di Pilpres, Hanura Kecewa Tak Dapat Kursi Menteri
Dukungan baru yang datang itu membuat Presiden Jokowi harus melakukan perombakan kabinet.
Pada Juli 2016, dua menteri dari Hanura terlempar dari kabinet kerja. Mereka harus digantikan oleh kader parpol yang pada pilpres justru menjadi lawan Jokowi.
Posisi menteri perindustrian diambil oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Jabatan menteri PAN-RB juga diserahkan kepada kader PAN Asman Abnur.
Sebagai gantinya, Jokowi hanya memberi satu pos baru untuk Hanura.
Baca juga: Hanura Kecewa Tak Dapat Jatah Menteri, Merasa Berjasa Perjuangkan Jokowi Jadi Presiden
Jabatan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan diserahkan kepada Wiranto, ketua umum partai Hanura yang juga mantan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI.
Namun, Yuddy Chrisnandi menilai, tidak ada masalah terkait keputusan Presiden Joko Widodo mengurangi kursi menteri untuk Hanura. Sebab, jabatan untuk Wiranto sebagai Menko setara dengan porsi dua kursi menteri.
"Memang Hanura sebelumnya dapat dua kursi (di kabinet). Sekarang satu kursi menko, konsekuensinya itu sama dengan dua kursi di kabinet, rumusnya begitu," ujar Yuddy usai pengumuman reshuffle kabinet.
Oesman Sapta
Pada Desember 2016, Wiranto mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Hanura karena ingin fokus pada tugasnya sebagai Menko Polhukam.
Musyawarah Nasional Luar Biasa Hanura pun menetapkan secara aklamasi Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai ketua umum Hanura yang baru.
OSO sendiri sebenarnya adalah orang baru di Hanura. Ia lebih dikenal sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah dan pengusaha.
Baca juga: Hanura Berharap Jokowi Loloskan 40 Kadernya Masuk Kabinet
Masuknya OSO melahirkan dualisme di Partai Hanura.
Pada 2018, duet Daryatmo dan Syarifuddin Sudding sempat membuat pengurus tandingan.
Namun, akhirnya diputuskan kubu OSO lah sebagai pengurus yang sah dan berhak mengikuti pemilu 2019.
Dualisme berkepanjangan yang terjadi membuat sejumlah kader andalan di Partai Hanura loncat ke partai lain.
Baca juga: Hanura Minta Jokowi Perhatian pada Parpol-parpol KIK yang Tak Lolos Parlemen
Meski jagonnya Jokowi-Ma'ruf Amin menang di pilpres, suara Hanura pun terjun bebas di pemilu legislatif.
Semula meraih 6.579.498 suara (5,26 persen) di 2014, Hanura hanya meraih 2.161.507 suara (1,54 persen) pada 2019. Akibatnya Hanura tak lolos ke DPR RI karena tak melewati ambang batas.
Terbuang dari Kabinet
Sudah tak mendapat kursi DPR, Hanura juga harus menelan pil pahit karena tak mendapatkan jatah menteri atau pun wakil menteri.
Padahal, Partai Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia yang sama-sama tak lolos ke parlemen bersama Hanura tetap mendapat jatah satu wakil menteri.
Baca juga: Bertemu Jokowi, OSO Sodorkan 40 Kader Hanura Sebagai Menteri
Saat dikonfimasi, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman tak menjelaskan apa yang menjadi penyebab Hanura kali ini tak mendapat jatah menteri.
Ia hanya menegaskan bahwa pemilihan menteri atau wakil menteri adalah sepenuhnya hak prerogatif Presiden.
Ia juga memastikan Presiden tak akan menambah jumlah wakil menteri yang saat ini sudah diumumkan berjumlah 12 orang.
"Pak Jokowi dengan hak beliau cukup. Cukup (tak ada penambahan wakil menteri lagi)," kata Fadjroel saat ditemui di Istana, pekan lalu.
Baca juga: Minta Maaf soal Kabinet, Jokowi Dinilai Tunjukkan Kerendahan Hati
Jokowi sendiri sudah meminta maaf kepada para pendukungnya yang tidak terakomodasi masuk ke dalam Kabinet Indonesia Maju.
Jokowi menyampaikan hal tesebut saat Musyawarah Besar X Pemuda Pancasila di Jakarta, Sabtu (26/10/2019).
Dalam acara itu, OSO yang juga kader Pemuda Pancasila ikut hadir.
"Mungkin sebagian yang hadir ada yang kecewa. Mohon maaf tak bisa mengakomodasi semuanya," kata Jokowi.
Baca juga: Di Depan OSO, Jokowi Minta Maaf soal Susunan Kabinet
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura, Bona Simanjutak, menyampaikan kekecewaan lantaran tak ada kadernya yang ditunjuk sebagai menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Padahal Hanura merasa sudah berdarah-darah mendukung Jokowi-Ma'ruf, bahkan sampai harus kehilangan kursi di DPR
"Kalau istilah Pak Erick Thohir berkeringat, kami berdarah-darah (saat pilpres)," ujar Bona dalam diskusi bertajuk 'Kabinet Bikin kaget' di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (26/10/2019).
"Gerakan (kader Hanura) cukup masif saat Jokowi berkampanye. Tetapi dalam perjalanan kami memang harus berkorban sehingga tak ada lagi kursi di parlemen," sambungnya.