KOMPAS.com - Pada 23 Oktober 2019 lalu kita menyaksikan suatu fenomena yang jarang, bahkan mungkin sulit terulang kembali dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Prabowo Subianto, selaku rival langsung Presiden Joko Widodo pada pemilu Presiden 2019, bergabung dalam kabinet yang disusun oleh Presiden Jokowi untuk 5 tahun ke depan sebagai Menteri Pertahanan.
Wajar rasanya, apabila bergabungnya Prabowo memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada yang memuji, namun tak sedikit pula yang menyatakan kekecewaannya, bahkan berbalik arah dukungan.
Namun, perlu digaris bawahi bersama, bahwa Kabinet Indonesia Maju bukan melulu tentang romantisme Jokowi-Prabowo. Kabinet yang berisikan 34 pos kementerian haruslah dipandang dari sudut pandang lebih luas dan menyeluruh.
Kita harus menyadari, sebagai bangsa, bukan hanya drama, gosip, atau kehidupan personal para public figure yang harus menjadi pusat perhatian kita. Komposisi para menteri dan wakil menteri beserta rekam jejak dan kinerjanya juga harus menjadi pusat perhatian bersama.
Kita sedang tidak berbicara tentang satu kabinet pemerintahan. Tidak pula berbicara sebatas satu periode, tapi bagaimana 5 tahun ke depan membentuk nasib dan masa depan Indonesia.
Bonus demografi
Sebelum lebih jauh, perlu dinyatakan bahwa "pemuda" yang dimaksud di sini bukanlah terbatas pada laki-laki belaka, tapi juga pemuda-pemudi, yang sudah tentu perempuan juga termasuk dalam maksud penulisan kata pemuda.
Penyingkatan kata pemuda haruslah dipandang semata oleh terbatasnya ruang penulisan yang tersedia.
Di hari sumpah pemuda ini perlu kita semua pahami, bahwa 28 Oktober bukanlah hanya sekedar seremonial. Bukan sekedar upacara bendera bagi anak SMA atau teman-teman PNS di hari Senin nanti, atau bahkan sekadar membanjiri media sosial dengan ucapan dan bermacam unggahan normatif belaka.
Wajib hukumnya bagi kita, untuk melakukan refeksi diri dan evaluasi terhadap peran dan fungsi pemuda, termasuk generasi milenial, dalam menghadapi tuntutan zaman dan globalisasi yang ada di depan mata.
Perlu kita sadari, bahwa Indonesia sedang memasuki era baru demografi yang lebih dikenal sebagai era bonus demografi. Hal itu terjadi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang ditandai dengan menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk nonproduktif (usia kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap jumlah penduduk produktif (usia 15-64 tahun).
Menghadapi bonus demografi haruslah disikapi dengan kerja kolektif dari berbagai elemen bangsa. Pemuda sebagai generasi penerus sudah seharusnya mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam menerima estafet dari generasi pendahulu.
Kita tentu paham, bahwa kehidupan pemuda tak hanya melulu belajar. Harus ada keseimbangan di sana selayaknya slogan buku, pesta, dan cinta yang terasosiasi pada kehidupan pemuda.
Namun, dengan adanya kesadaran akan momentum bonus demografi, diharapkan di tengah keriangan milenial dalam menjalani kehidupan masa muda, para pemuda tetap menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai generasi penerus. Mereka harus sadar, bahwa 15-20 tahun ke depan pemudalah yang memegang peran penting atas bangsa Indonesia.
Sejak jauh-jauh hari Jokowi sudah menangkap bonus demografi sebagai peluang bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain.