JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan tetap melakukan eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati dinilai bertentangan dengan posisi Indonesia di dunia internasional.
Seperti diketahui, Indonesia terpilih untuk ke-5 kalinya sebagai anggota Dewan HAM PBB sehingga tak seharusnya menerapkan hukuman mati.
"Ada sikap yang ambivalen, di satu sisi kita mati-matian berjuang menjadi anggota Dewan HAM PBB yang kini kembali terpilih untuk kelima kalinya, namun di sisi lain kita masih mau menerapkan hukuman mati yang justru melanggar HAM," ujar Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar saat ditemui sesuai diskusi Polemik di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Baca juga: Mahfud MD: Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu demi Kepentingan Negara
Ia menyarankan Presiden Joko Widodo untuk menangguhkan hukuman bagi terpidana mati sampai adanya perubahan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Jika tidak, kata Fickar, secara psikologis citra Indonesia di dunia akan terlihat sebagai bangsa munafik.
"Di satu sisi kita jadi anggota Dewan HAM, tapi sisi lain banyak hukum kita yang melanggar HAM, termasuk pelaksanaan hukuman mati," jelasnya.
Baca juga: Indonesia Jadi Anggota Dewan HAM PBB, Ini Pesan Komnas HAM untuk Pemerintah
Ia juga mempertanyakan pernyataan Jaksa Agung karena sebenarnya hukuman mati tidak ada dampaknya pada perkembangan hukum di Tanah Air.
"Apa sih manfaatnya mengeksekusi orang mati bagi perkembangan hukum. Apakah umpamanya terpidana narkoba akan berkurang dengan banyak kalau hukuman mati dilaksanakan, itu kan belum ada pembuktian yang pasti," tegas Fickar.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan bahwa eksekusi terhadap terpidana hukuman mati akan tetap dilakukan.
Baca juga: RI Jadi Anggota Dewan HAM PBB, Komnas HAM: Dukungan Kami Tidak Gratis
Terutama kepada terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap alias inkrah.
"Ada beberapa perkara yang belum inkrah. (Setelah inkrah), pasti kita akan eksekusi," ungkap Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan.
Ia menekankan, hukuman mati tercantum pada peraturan perundangan di Indonesia. Oleh sebab itu, dirinya sebagai aparat penegak hukum wajib melaksanakannya.
Baca juga: RI Jadi Anggota Dewan HAM PBB, Jokowi Diminta Tunjuk Menteri yang Peduli HAM
Meski demikian, Burhanuddin akan tetap memberikan keleluasaan bagi terpidana mati yang hendak mengajukan proses hukum lanjutan, yakni Peninjauan Kembali (PK).
Hal itu adalah hak setiap narapidana demi menghindari kesalahan proses hukum narapidana itu sendiri.
Berdasarkan catatan Kontras sepanjang 2014-2019, terdapat 274 terpidana mati yang tersebar di seluruh Indonesia.
Terpidana mati terbanyak yaitu terjerat kejahatan narkotika sebanyak 186 orang dan pembunuhan sebanyak 73 orang.