INI merupakan kali kedua Nahdlatul Ulama (NU) menempatkan wakilnya di kursi eksekutif pemerintahan dengan posisi strategis.
Setelah sebelumnya Gus Dur menjabat presiden Indonesia, kini giliran KH Ma’ruf Amin menempati posisi yang kurang lebih serupa, sebagai wakil presiden.
Keduanya merupakan Kiai penting NU dengan masing-masing pernah memegang posisi krusial dalam roda organisasi.
Gusdur pernah mengarsiteki NU sejak tahun 1984 hingga era reformasi, sementara KH Ma’ruf Amin pernah memegang kendali Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk periode 2015-2020.
Posisi ini menurut laporan NU Online kemudian diambil alih oleh KH Miftachul Akhyar melalui hasil rapat pleno pada Sabtu, 22 September 2018 sebagai tindak lanjut pencalonan KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden.
Sepak terjang kiai dalam pentas politik nasional memang ditunggu-tunggu akan memberikan warna lain kepemimpinan.
Kehadirannya diandalkan sebab diharapkan mampu mengelaborasi sentuhan religiusitas atas nilai-nilai keagamaannya sebagai solusi persoalan umat yang kompleks.
Di masa kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden, mesti singkat, ia mampu memberikan warna perubahan khususnya dalam hal inklusivitas ide keberagamaan.
Ia berhasil menyelesaikan beragam persoalan intoleransi dan diskriminasi dalam dinamika politik yang terjadi pasca-reformasi.
Kelak, banyak orang mengelukannya sebagai peletak fondasi praktik toleransi dan tokoh pluralisme Indonesia.
Di masa Gus Dur pula, persoalan diskriminasi etnis minoritas Tionghoa yang mewabah bertahun-tahun dapat diselesaikan.
Ide-ide Gus Dur yang ia instal dalam kebijakan bernegara, secara ontologi memang tidak terlepas dari khazanah keislaman NU yang ia resapi.
Misalnya, di masa kepemimpinan Gus Dur, ia berhasil membawa NU kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi kemasyarakatan setelah beberapa tahun upaya tersebut selalu gagal.
Khittah ini penting bagi NU karena kembali membebankan organisasi dan elitenya untuk lebih peka terhadap persoalan umat di akar rumput ketimbang asyik berselancar di dunia politik praktis.
Seperti dilansir dari buku Khittah dan Khidmah NU, beberapa khittah ini juga menyangkut sikap kemasyarakatan NU yang terdiri dari 4 prinsip ideologi ahlu sunnah wal jama’ah:
Pertama yakni Tawassuth dan I’tidal, artinya NU berupaya untuk selalu bersikap moderat, lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, tidak condong pada satu sisi ekstrem, dan berbuat adil secara konsisiten.
Kedua, Tasamuh, atau toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam hal keagamaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.