KOMPAS.com - Aksi penyerangan Menkopolhukam Wiranto yang terjadi Kamis (10/10/2019) di Pandegelang, Banten, adalah peristiwa serius yang perlu menjadi keprihatinan bersama.
Secara historis, peristiwa itu mengingatkan kita pada tragedi Bom Cikini pada 1957 silam yang menargetkan Presiden RI Soekarno. Dan memang, dalam beberapa dekade terakhir tidak terdengar adanya upaya pembunuhan terhadap pejabat tinggi negara yang cukup berhasil seperti menimpa Menkopolkam Wiranto.
Selain itu, hal paling mencengangkan dari peristiwa di Pandegelang itu adalah efektifitas dan akurasi aksinya. Hanya dengan satu atau dua pelaku, dengan senjata seadanya (pisau kecil), aksi mereka sudah mampu menembus target high profile sekelas Menkopolkam.
Artinya, ada lompatan metodologi aksi dari para pelaku teror yang tak bisa dianggap remeh.
Dalam kerangka itu, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Pertama, Standard operational procedure (SOP) dari sistem pengamanan pejabat negara. Sebab, cukup mengherankan seorang pelaku pembunuhan bisa demikian mudah merangsek masuk ke dalam parimater pengamanan dan mendekati pejabat tinggi setingkat Mekopolkam yang seharusnya mendapat sistem pengamanan VVIP.
Kedua, kemampuan deteksi dini aparat keamanan, seperti kepolisian, BIN dan khususnya Densus 88. Padahal, Undang-Undang anti-Terorisme yang baru (UU No. 5 Tahun 2018) sudah memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pencegahan lebih dini terhadap ancaman terorisme.
Ketiga, dan ini mungkin yang terpenting, kita harus kembali meninjau skema besar strategi penanggulangan terorisme di Negara kita. Sebab, setelah hampir 20 tahun negara ini melakukan perang terhadap terorisme, ancaman teror terus berkembang dengan pola dan metodologi aksi yang terus berubah.
Ya, bahkan beberapa di antaranya sudah berhasil melakukan lompatan metodologi yang cukup signifikan.
Dalam satu tahun ini saja dunia sudah menyaksikan setidaknya dua aksi terorisme yang cukup mencengangkan. Pertama, aksi terorisme yang terjadi di dua masjid Kota Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3/2019) lalu, yang menewaskan sekitar 50 orang.
Kedua, aksi peledakan di sejumlah gereja dan hotel mewah di Srilanka, tepat pada Minggu Paskah (21/4/2019) lalu. Aksi itu menewaskan lebih dari 400 orang.
Ditinjau dari motifnya, masing-masing pelaku dalam aksi tersebut adalah penganut ideologi keagamaan paling ekstrem di dunia. Pelaku aksi teror di Srilanka adalah National Tawheed Jama'ut (NTJ), yakni kelompok Islam radikal di Sri Lanka.
NTJ diketahui sebagai salah satu pendukung ISIS yang cukup militan. Bila di masa lalu Macan Tamil hanya kelompok separatisme yang ingin memisahkan diri dari Srilanka, NTJ justeru ingin mendirikan negara Islam di negara yang mayoritas penduduknya etnis Sinhala yang sebagian besar beragama Budha.
Adapun pelaku teror di Selandia Baru adalah seorang warga negara Australia dan penganut rasisme yang ingin menegakkan supremasi ras kulit putih (white supremacy). Dia menggabungkan narasi kemenangan Charles Martel dalam pertempuran Tours pada 739 M dengan narasi kecemasan yang dirasakan sebagian warga kulit putih di seluruh dunia sekarang.
Lompatan metodologis