JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendorong adanya revisi Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal ini dinilai penting untuk memperbaiki sistem regulasi yang banyak tumpang tindih dan tidak efektif.
"Presiden juga harus mendorong revisi UU Nomor 12 Tahun 2011. Ini menjadi dasar hukum tata kelola regulasi, sistem regulasi di Indonesia, dan ini menurut kami menjadi prioritas untuk segera didorong perbaikannya untuk mewujudkan sistem peraturan perundang-undangan yang lebih baik," kata Peneliti PSHK Nur Sholikin dalam sebuah diskusi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (15/10/2019).
Baca juga: PSHK: 4 Tahun Pertama Pemerintahan Jokowi, Eksekutif Hiper Regulasi
Sholikin mengatakan, beberapa hal yang perlu dibenahi dari Udang-undang Nomor 12 Tahun 2011 misalnya soal perencanaan pembentukan undang-undang.
Perlu diatur kembali sinkronisasi antara lembaga di tingkat pusat dengan daerah, supaya perencanaan regulasinya tak saling berbenturan.
Hierarki peraturan sebuah lembaga juga perlu diatur ulang. Misalnya, selama ini peraturan menteri tidak jelas kedudukannya. Hal inilah yang kemudian harus dibenahi.
"Memang ada ketentuan khusus yang mengatur kedudukannya (peraturan menteri), tapi tidak masuk dalam hierarki. Ini juga harus diperbaiki," ujarnya.
Baca juga: Jokowi Didorong Bentuk Badan Khusus Benahi Regulasi yang Tumpang Tindih
Tidak hanya itu, Sholikin menilai, perlu dipertegas lagi aturan soal keterlibatan partisipasi masyarakat.
Pasalnya, beberapa waktu terakhir, undang-undang dibahas tanpa keterlibatan publik. Hal ini khususnya terjadi di DPR.
"Beberapa minggu belakangan terkait dengan revisi UU KPK, RUU KUHP, kemudian rancangan UU Pemasyarakatan, kan sama sekali tidak menerapkan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya," kata Sholikin.
Baca juga: DPR 2014-2019 Dinilai Tertutup dan Tak Banyak Libatkan Partisipasi Rakyat
Sementara itu, dilihat dari level eksekutif, PSHK menyebut telah terjadi hiper-regulasi atau penerbitan peraturan perundang-undangan yang terlampau banyak.
Selama empat tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, lebih dari 8 ribu peraturan dibentuk oleh lembaga eksekutif melalui peraturan presiden, peraturan menteri, hingga peraturan pemerintah.
"Kalau kita bilang hiper-regulasi itu kita melihat di level peraturan menteri, peraturan presiden dan peraturan pemerintah. Jumlah terbesar ada di situ, di sisi eksekutif," kata Sholikin.
Baca juga: Solidaritas Perempuan: RUU PKS Tak Jadi Prioritas karena Tak Untungkan DPR
PSHK mencatat, sejak Oktober 2014 hingga 2018, ada 7.621 peraturan menteri. Peraturan menteri terbanyak dihasilkan oleh Kementerian Keuangan, kemudian Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sementara itu, jumlah peraturan presiden yang dihasilkan selama empat tahun mencapai 765. Sedangkan peraturan pemerintah berjumlah 452.
Hiper regulasi inilah yang kemudian menyebabkan potensi terjadinya tumpang tindih.