JAKARTA, KOMPAS.com - Belum genap sebulan disahkan DPR RI melalui rapat paripurna, Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kedua kalinya.
Kali ini, penggugat adalah 25 advokat yang juga berstatus sebagai mahasiswa pasca sarjana Universitas Islam As Syafi'iyah.
Permohonan dibacakan di hadapan Majelis Hakim MK melalui sidang pendahuluan yang digelar Senin (14/10/2019).
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim sekaligus memberikan sejumlah catatan atas permohonan yang diajukan pemohon.
Dengan diajukannya uji formil dan materil ini, UU KPK hasil revisi telah diujikan oleh dua pemohon. Wiwin Taswin dan kawan kawan adalah pemohon kedua.
Sebelumnya, pada akhir September lalu, 18 mahasiswa gabungan sejumlah universitas di Indonesia juga sudah mengajukan uji materil dan formil atas UU KPK ke MK.
1. Uji Formil dan Materil
Dalam permohonanya, pemohon tidak hanya mengajukan uji formil atas UU KPK hasil revisi, tetapi juga uji materil.
"Ini adalah merupakan permohonan pengajuan formil dan materil dari undang-undang, nomornya belum kami sampaikan, yang merupakan perubahan kedua dari UU Nomor 30 Tahum 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Wiwin Taswin, salah seorang perwakilan pemohon, di hadapan Majelis Hakim MK di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin.
Baca juga: UU KPK Belum Bernomor, MK Nilai Pemohon Uji Materi Terburu-buru
Wiwin mengatakan, ada kerugian konstitusional yang dialami oleh pihaknya atas UU KPK hasil revisi.
Pasalnya, dari sisi formil, penerbitan Undang-undang ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahkan cenderung melanggar prosedur.
Sebab, UU ini disahkan tidak melalui rapat paripurna yang kuorum oleh DPR. Sedangkan menurut peraturan, sebuah Undang-undang bisa disahkan jika anggota DPR yang hadir lebih dari separuh.
Tetapi, dalam rapat paripurna 17 September 2019, anggota DPR yang hadir hanya 102 dari 560 orang.
Oleh karenanya, UU ini dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Sementara itu, dari sisi materil, pemohon mempermasalahkan Pasal 21 ayat (1) huruf a yang mengatur tentang dewan pengawas. Pemohon menilai, adanya dewan pengawas KPK justru berpotensi menyebabkan KPK menjadi tidak independen.