Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arah Bangsa Dinilai Sudah Benar, Tak Ada Urgensi Amendemen UUD

Kompas.com - 14/10/2019, 16:49 WIB
Christoforus Ristianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas menilai, belum ada urgensi untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan mengamendemen UUD 1945.

Menurut Sirajuddin, sejauh ini tidak ada indikasi bahwa negara sedang berjalan ke arah yang salah.

"Berdasarkan data scientific yang SMRC punya, kita belum melihat urgensi dari amendemen UUD 1945 Setidaknya saya pribadi tidak melihat ada urgensi untuk amandemen itu baik sebagian maupun keseluruhan karena kalau bicara soal GBHN, arah bangsa ini berjalan dengan benar," ujar Abbas dalam diskusi bertajuk "Wajah Baru DPR: Antara Perppu dan Amendemen" di kantor Formappi,Jakarta Timur, Senin (14/10/2019).

Baca juga: PDI-P Tak Sepakat Usulan Amendemen UUD 1945 Secara Menyeluruh

Ia menilai, Indonesia saat ini tidak sedang dalam haluan atau jalan yang salah. Bahkan, justru mengalami kemajuan dalam pembangunan nasional setelah reformasi di berbagai sektor.

Misalnya di bidang pendidikan, kemiskinan, produk domestik bruto (PDB), dan sebagainya yang nilainya lebih besar dibandingkan sebelum reformasi.

"Penilaian publik terhadap arah negara selalu kita tanyakan di setiap survei SMRC, dan hasilnya masyarakat berpandangan negara berjalan ke arah yang benar," jelasnya.

Wacana amandemen UUD 1945 kembali mencuat setelah PDI Perjuangan menyatakan dukungan untuk Bambang Soesatyo duduk di kursi Ketua MPR RI 2019-2024.

Dukungan PDI-P kepada Bambang bukan tanpa syarat. Satu dari lima syarat yang disampaikan, PDI-P meminta Bambang mendukung kelanjutan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Haluan Negara melalui Ketetapan MPR.

Sementara Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengusulkan amendemen konstitusi menyeluruh. Surya memaparkan usulan tersebut seusai bertemu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Minggu (13/10/2019).

Menurut Paloh, amendemen UUD 1945 memang sebaiknya tak dilakukan hanya untuk menghidupkan haluan negara.

Ia menilai, banyak hal yang harus dibenahi dalam UUD 1945. Salah satu di antaranya yang terkait dengan sistem kepemiluan

Sistem pemilu serentak yang menjadi tafsir dari UUD 1945 perlu dipertanyakan kembali apakah masih layak dipertahankan atau tidak.

Baca juga: Peneliti SMRC: Bahaya jika MPR Tak Libatkan Masyarakat Bahas Amendemen UUD 1945

Sebab, ia menilai ada beberapa kekurangan dalam pelaksanaan pemilu serentak.

"Banyak poin masalahnya. Tidak terbatas membuat GBHN baru misalnya. Misalnya pemilu serempak ini. Putusan MK ini berdasarkan tafsiran UUD harus serempak," ujar Paloh.

"Ini kita pikirkan bersama apakah akan dilanjutkan lima tahun ke depan pemilu serempak tadi, atau kembali terpisah misal pileg duluan menyusul pilpresnya. Banyak hal lain (dalam proses amendemen)," lanjut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com