Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras Dorong Penerapan Hukuman Mati di Indonesia Dihapuskan

Kompas.com - 10/10/2019, 12:05 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mendorong agar pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dihapuskan.

Hal itu disampaikan Yati dalam agenda Peluncuran Laporan Situasi Lapas dan Terpidana Mati di Indonesia, Novotel Cikini, Jakarta, Kamis (10/10/2019).

"Konstitusi kita sudah menyebutkan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi. Harusnya tidak lagi diberlakukan dan tidak digunakan lagi dalam negara kita yang sedang maju dan semakin demokratis, dan menjunjung nilai hak asasi manusia," kata Yati.

Baca juga: Alasan Komnas HAM Tolak Sanksi Pidana Hukuman Mati dalam RKUHP

Ia menilai, Indonesia sebenarnya sudah memiliki potensi untuk segera menghapuskan penerapan hukuman mati.

Hal itu bisa dilihat dari beberapa hal seperti adanya perubahan ketentuan hukuman mati dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi hukuman alternatif.

"Ini memang bukan jawaban atau solusi yang menggembirakan tapi setidaknya ada progress kecil karena ada pengakuan bahwa memang praktik dan penerapan hukuman mati itu penting dikritisi dan dievaluasi karena banyak hal, ada kecacatan dalam sistem pemidanaan kita," katanya.

Hal lainnya bisa terlihat dari upaya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melakukan moratorium hukuman mati di Indonesia.

Mantan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid juga dinilainya menentang praktik hukuman mati di Indonesia.

Di satu sisi, pelaksanaan hukuman mati dinilainya juga masih memiliki sejumlah masalah.

Misalnya saja, kata dia, dalam sejumlah kasus yang diadvokasi oleh Kontras, masih ditemukan dugaan proses peradilan yang tidak adil dalam proses eksekusi hukuman mati.

Baca juga: 5 Masalah RKUHP, dari Penerapan Hukuman Mati hingga Warisan Kolonial

"Mulai dari pendampingan hukum yang tidak memadai, kemudian penyiksaan yang masih menjadi satu metode saat penanganan di kepolisian. Kemudian juga akses lawyer yang minim dan terbatas. Dan kemudian dampingan proses hukum lainnya yang juga tidak memadai," ujar Yati.

"Yang lebih substansi lagi adalah profesionalitas, akuntabilitas criminal justice system kita serta independensinya masih bermasalah," sambung Yati.

Sehingga, ia mempertanyakan, mengapa saat proses peradilan yang tidak adil masih terjadi, implementasi hukuman mati masih tetap dilaksanakan.

"Sangat disayangkan pemerintahan Jokowi, dilakukan kembali eksekusi hukuman mati dan kami melihatnya memang ada situasi politiknya memang memengaruhi. Sehingga ada kesan Pak Jokowi ingin memunculkan satu wajah bahwa pemerintahannya sangat kuat dan tegas," kata dia.

Baca juga: Kontras: Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia Masih Punya Persoalan

Dan salah satu upaya menunjukkan ketegasan itu, menurut Yati, menerapkan kembali pelaksanaan hukuman mati. Menurut dia hal itu tak patut karena digunakan untuk membangun citra pemerintahan.

"Tapi buat kami optimisme kita untuk menghapus praktik hukuman mati harus tetap kita lakukan. Dan kita indonesia punya pengalaman baik bagaimana potensi praktik hukuman mati itu bisa dihapuskan. Kita punya potensi kesempatan untuk menghapuskan itu," ujar Yati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com