Gita mengatakan, nama-nama buzzer itu sudah banyak diungkap oleh media massa nasional.
"Siapa-siapa yang disebut buzzer siapa aja itu sumbernya udah disampaikan banyak media nama-namanya. Kita tahulah orangnya itu siapa. Kedua, mereka harus dilihat dari orang yang posting berbayar," ucap dia.
Selain itu, lanjut Gita, jika merasa dirugikan oleh buzzer tak harus diselesaikan lewat ranah pidana. Menurut dia, ranah perdata juga bisa ditempuh jika narasi buzzer dianggap merugikan pihak tertentu.
"Enggak harus melapor ke polisi ya. Misalnya gugat menyangkut kerugian, kemudian potensi pekerjaan yang hilang gara-gara postingan buzzer, begitu misalnya, itu bisa juga," ujar dia.
"Tapi yang bahaya memang ketika buzzer melakukan doxing, identitasnya, nomor kontak pribadi semua dimuat di media sosial oleh si buzzer. Kalau hal seperti itu sih masuk akal kalau si korban melaporkan ke polisi," lanjut Gita.
Terakhir, kata dia, narasi buzzer yang negatif bisa dilawan dengan narasi yang berkualitas. Ini didasarkan atas argumentasi, data dan fakta yang jelas.
Ia pun mencontohkan sikap jurnalis senior Najwa Shihab yang fotonya bersama Tommy Soeharto dinarasikan bahwa Najwa merupakan antek Orde Baru.
Najwa, lanjut Gita, melawan dengan menghadirkan fakta dan konteks soal foto tersebut ke para pengikutnya di media sosial.
Langkah semacam itu yang dinilainya positif dan diperlukan untuk menghadapi narasi buzzer.
"Waktu itu kan, di-spin foto Najwa sama Tommy dibilang dia pro Orba dan di-counter oleh Najwa," kata Gita.
"Menurut saya itu cara yang bagus dan positif ya untuk merepons buzzer konteksnya apa dijelaskan Najwa kenapa berfoto sama Tommy itu jelas, dan hal-hal seperti ini positif," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.