JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan, Senin (7/10/2019).
Adapun Sofyan merupakan terdakwa kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1.
"Kami penuntut umum, menuntut supaya majelis hakim agar menyatakan, satu, menyatakan terdakwa Sofyan Basir terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Ronald Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.
Menurut jaksa, hal yang meringankan Sofyan adalah bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum dan tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap yang dibantunya.
Sementara hal memberatkan adalah terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Jaksa meyakini Sofyan telah memberi kesempatan, sarana dan keterangan kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo dalam mendapatkan keinginan mereka mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau 1.
Sofyan dianggap jaksa membantu transaksi dugaan suap yang melibatkan Kotjo dan Eni dalam proyek itu. Sofyan dinilai sudah memfasilitasi mereka dalam kesepakatan proyek hingga mengetahui adanya pemberian uang.
Adapun transaksi suap tersebut berupa pemberian uang Rp 4,7 miliar Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham.
"Terdakwa telah mempertemukan Eni Maulani Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU MT Riau-1," kata jaksa Ronald.
Jaksa memaparkan, pada persidangan telah muncul fakta bahwa sekitar Juli 2017, Sofyan mempertemukan Kotjo selaku pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd, Eni Maulani Saragih dengan Supangkat Iwan Santoso selaku Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN.
Dalam pertemuan itu, kata jaksa, Sofyan meminta Supangkat untuk menjelaskan mengenai mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres No 4 tahun 2016.
Perpres itu merupakan acuan bagi perusahaan untuk menginstruksikan anak usaha menjalin kerja sama dengan pihak swasta. Syaratnya, kepemilikan saham anak usaha PT PLN minimal 51 persen.
Jaksa memandang, Sofyan turut mengizinkan Kotjo dan Eni berbicara lebih lanjut bersama Supangkat untuk membahas proyek itu.
Sofyan, lanjut jaksa, juga kerap kali bertemu dengan Kotjo dan Eni di sejumlah tempat, seperti BRI Lounge, restoran Arkaida, kediaman Sofyan dan kantor pusat PT PLN.
"Terdakwa mengarahkan Nicke Widyawati yang pada saat itu menjawab selaku Direktur Perencanaan PT PLN untuk tetap memasukkan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2x300 MW di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero)," ujar jaksa.
Menurut jaksa, berdasarkan fakta, pada sekitar awal 2017, Sofyan mengajak Nicke dan Supangkat bertemu Eni dan Kotjo. Saat itu, Sofyan diminta Eni dan Kotjo agar proyek itu dicantumkan dalam RUPTL PT PLN tahun 2017-2026.
Sofyan pun, kata jaksa, meminta Nicke mengurus permintaan tersebut.
Jaksa mengungkapkan, Sofyan juga diketahui menandatangani power purchase agreement (PPA) proyek itu. Padahal, rangkaian prosedurnya ada yang dilalui dan dilakukan tanpa membahas bersama jajaran direksi.
Sementara, menurut jaksa, dalam persidangan sejumlah direksi PT PLN ada yang tidak mengetahui penandatanganan tersebut. Namun, mereka tetap diminta menandatangani persetujuan sirkuler direksi.
Padahal dalam persidangan juga terungkap bahwa ada beberapa direksi PT PLN yang sebelumnya tidak pernah mengetahui mengenai adanya penandatangan PJBTL/PPA namun kemudian diminta untuk menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler.
Beberapa di antaranya adalah Direktur Keuangan PT PLN Sarwono Sudarto dan Direktur Human Capital Management PT PLN Muhamad Ali.
"Yang bersangkutan (Sarwono) baru menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler, jauh setelah terdakwa menandatangani PJBTL/PPA yaitu pada Mei 2018. Lebih lanjut, Muhamad Ali selaku Direktur Human Capital Management baru menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler pada Januari 2018," kata jaksa.
Menurut jaksa, hingga KPK menangkap Eni dan Kotjo, Sofyan justru tak membatalkan kesepakatan pembangunan proyek tersebut dengan BNR dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa Kotjo.
Padahal negosiasi dengan CHEC sudah terlalu lama, dan Sofyan malah pernah menyampaikan untuk segera mengganti CHEC dengan investor lain.
Baca juga: Mantan Dirut PLN Sofyan Basir Dituntut 5 Tahun Penjara
"Karenanya 'ancaman' penggantian CHEC Ltd selaku investor harus diartikan hanya sekadar kata-kata. Lebih khusus lagi terdapat peristiwa di mana sekitar 3 bulan, terdakwa malah memberikan arahan untuk memberikan waktu deadline 2 minggu lagi kepada CHEC Ltd saat diinformasikan oleh Iwan Agung Firstantara bahwa CHEC masih belum bersedia menandatangani PPA," papar jaksa.
Jaksa juga memaparkan, meski Sofyan belum menerima manfaat dalam perkara ini, hal itu tak menjadi syarat pembantuan atau medeplichtige.
Karena, kata jaksa, sebagai pihak yang membantu, tidak harus ada manfaat yang diperoleh Sofyan. Karena penerima manfaat melekat pada Eni, Idrus Marham dan Kotjo.
"Secara umum dalam pembantuan orang yang membantu tidak harus memperoleh manfaat yang didapat dari orang yang dibantu. Dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah memberikan kesempatan kepada Johannes Kotjo untuk mendapat proyek pembangunan PLTU MT Riau-1," kata jaksa.
Atas tuntutan itu, Sofyan mengaku terkejut. Ia tidak habis pikir sampai harus dituntut 5 tahun penjara oleh jaksa KPK. Ia bahkan merasa ada 'kreativitas' yang dibangun KPK untuk menjerat dirinya.
"Kaget memang kaget, tetapi dari awal kasus ini kami sudah berasa bahwa ada sesuatu yang sudah dibangun. Pada saat kami digeledah awal, itu semua adik-adik wartawan itu sudah datang, sedangkan tersangkanya belum digeledah, saksi sudah didatangi, saya, sebelum terima surat saksi," kata Sofyan Basir selepas mengikuti sidang tuntutan, Senin sore.
"Dari itu saja saya sudah menangkap ada 'kreativitas' yang luar biasa," sambungnya.
Ia menyoroti pertemuan-pertemuannya dengan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
Sofyan Basir menyatakan bahwa ia melakukan sejumlah pertemuan dengan Kotjo murni demi kepentingan bisnis dan mewujudkan proyek tersebut.
Ia merasa tak ada upaya perbantuan sebagaimana yang disampaikan oleh jaksa.
"Ini repotnya pertemuan menjadi perbantuan, ini berbahaya buat direksi BUMN yang lain. Kalau pertemuan bisa diputarbalikkan menjadi perbantuan berbahaya," kata dia.
Apalagi, kata Sofyan Basir, ia juga sama sekali tidak menerima uang dalam perkara ini.
Baca juga: Dituntut 5 Tahun Penjara, Sofyan Basir Mengaku Kaget
Ia pun menegaskan tak terkait dengan urusan suap yang melibatkan Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih, dan mantan Sekjen Golkar Idrus Marham.
"Bisa dibayangkan begitu ada direksi melakukan pertemuan dengan para investor dan lain sebagainya, begitu ada kejadian di luar sana seperti penyuapan, karena kita sering bertemu, dalam rangka marketing, dalam rangka berupaya supaya proyek ini jalan, kita bisa terkena tanpa tahu dari mana asal usulnya," ujar Sofyan Basir.
Penasihat hukum Sofyan, Soesilo Aribowo menilai tuntutan 5 tahun penjara ke kliennya merupakan hal yang tidak pantas.
"Sebenarnya untuk tuntutan 5 tahun pun tidak pantas. Semestinya kalau pun ini memang memungkinkan, tuntutannya itu sebenarnya bebas," kata Soesilo seusai persidangan.
Berbeda dengan jaksa, Soesilo sendiri merasa jaksa KPK terkesan ragu dalam membuktikan unsur perbantuan yang disematkan kepada kliennya.
"Kemudian, kedua, tidak kausalitas. Pemberian terjadi karena kesepakatan antara Pak Kotjo dan Bu Eni kok, sudah ada. Baru perkenalan dilakukan oleh Pak Sofyan Basir. Kehadiran Pak Sofyan Basir itu sebenarnya enggak ada kausalitasnya terhadap penerimaan uang oleh Bu Eni dan Pak Kotjo," ujar dia.
Ia juga menyinggung keterangan ahli yang menyebutkan meeting of mind dalam suap. Soesilo mempertanyakan apakah kliennya memiliki persamaan kehendak bersama Eni, Kotjo dan Idrus.
Baca juga: Beri Dukungan Moril, Adhyaksa Dault Temui Sofyan Basir di Ruang Sidang
"Persamaan kehendak dari yang mana nih? Dari Pak SB, dari Eni, dari Kotjo, dari Pak Idrus juga tidak ada. Kita juga enggak bisa melihat fakta-fakta itu begitu," katanya.
Dengan demikian, Soesilo mengatakan, kliennya dan tim penasihat hukum akan menyusun nota pembelaan masing-masing.
"Tentu secara komprehensif dari apa yang sudah ada dalam surat tuntutan, juga dari hal di luar surat tuntutan. Saya menilai surat tuntutan cukup berat dan tidak pantas," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.