Pertama, merusak sistem presidensial. Bila GBHN dihidupkan, maka MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara dengan konsekuensi pemilu presiden dikembalikan melalui sistem parlemen.
GBHN akan merusak ketatanegaraan yang telah ajeg pasca reformasi dimana presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR. Logika GBHN tidak cocok dengan sistem presidensial.
Kedua, melawan arus sejarah, sebab esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan menjadi hilang yang akhirnya membuka peluang instabilitas politik dengan berbagai isu pemakzulan seperti terjadi di masa lalu (Soekarno dan Gusdur).
Ketiga, memperburuk kinerja parlemen, sebab upaya amandemen UUD 1945 memerlukan waktu yang panjang dan kompleks sehingga tugas-tugas legislasi DPR dan DPD akan terbengkalai.
Keempat, melawan komitmen arah pembangunan yang telah ditetapkan dalam RPJPN 2005-2025 berdasarkan UU No. 17 Tahun 2007.
Kelima, melawan prinsip partisipasi publik dalam pemerintahan sebab wacana GBHN yang muncul bersifat elitis bukan atas dasar kepentingan rakyat.
Singkatnya, penambahan pimpinan MPR justru hanya akan menambah beban dan polemik baru di tengah maraknya penentangan terhadap wacana menghidupkan kembali GBHN dan tidak berkualitasnya beragam undang-undang yang telah dihasilkan.
Sekadar menyebut beberapa UU dan RUU bermasalah (UU KPK, RUU KUHP, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan).
Bila benar wacana perubahan terbatas UUD 1945 yang notabenenya merupakan basis hukum tertinggi negara melalui MPR itu tetap dilakukan, sudah dipastikan itu hanya akan semakin memperuncing masalah baru.
Persoalannya masyarakat masih skeptis akan lahirnya hasil yang maksimal melalui perubahan terbatas UUD 1945 lewat reaktivasi GBHN kelak.
Meski wajah parlemen telah berganti, namun itu bukan jaminan. Lantaran sebagian di antara mereka adalah orang-orang lama.
Seperti disampaikan Ketua KPU, Evi Novida Ginting Manik, 50,26 persen anggota DPR adalah petahana (Kompas, 04/09/2019). Sementara berdasarkan catatan Jawa Pos, 32, 35 persen anggota DPD diisi kembali oleh wajah lama (21/05/2019).
Sebetulnya penambahan pimpinan MPR bisa dibaca sebagai jalan lain atau sekedar win-win solution antar kepentingan politik di parlemen.
Tentu hal ini tidak menyentuh basis persoalan. Tidak ada relasi yang rasional antara penambahan pimpinan dengan jaminan substansi kinerja lembaga.
Sebab berdasarkan Pasal 16 UU MD3, tugas pimpinan MPR hanya sebagai berikut: memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua; menjadi juru bicara MPR; melaksanakan putusan MPR; mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; mewakili MPR di pengadilan; menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam sidang paripurna MPR pada akhir masa jabatan.