Beberapa partai seperti PAN, Golkar, PPP yang semula bersama KMP menyeberang ke KIH setelah mendapat posisi menteri.
Perubahan peta koalisi ini telah mendorong diadakannya kembali revisi UU MD3. Kali ini untuk mengakomodasi kepentingan KIH yang belum sempat merasakan struktur jabatan di parlemen.
Hasrat kuasa ini baru terpenuhi setelah diadakannya revisi kedua atas UU MD3 dengan menambah 1 pimpinan DPR, 3 pimpinan MPR, dan 1 pimpinan DPD dengan catatan bahwa UU hasil revisi yang baru ini hanya berlaku sampai 2019.
Setelahnya, UU MD3 akan kembali ke sistem proporsional menggantikan sistem paket pemilihan pimpinan DPR terdahulu (Tirto, 8/2/2018).
Namun, belum sempat UU MD3 hasil revisi tahun 2018 dilaksanakan, UU tersebut kembali direvisi dengan inisiasi menambah pimpinan MPR menjadi 10 (Sindonews, 30/08/2019).
Hal itu berlaku sejak 6 September 2019 (Kompas, 16/09/2019). Beberapa minggu sebelum pelantikan dewan yang baru.
Kesigapan DPR menyelesaikan RUU MD3 menjelang masa akhirnya sungguh paradoks. Antusiasme dewan terhadap UU yang membawa keuntungan bagi kelompoknya patut disasar sebagai sebuah petaka.
Pasalnya mereka tampak lamban bilamana menyangkut UU yang terkait kepentingan publik.
Bahkan kalaupun berhasil menyelesaikan, UU yang dinanti publik tersebut jauh dari ekspektasi dan mengecewakan. Fenomena demonstrasi akhir-akhir ini menangkap gejala kekecewaan tersebut.
Karenanya, revisi ketiga UU MD3 melalui penambahan jumlah pimpinan MPR, dari 7 menjadi 10 nyatanya telah menegaskan prahara politik kebangsaan baru.
Di tengah tuntutan rakyat yang tak kunjung digubris, bagi-bagi pos jabatan antar fraksi parlemen tentu menegasikan eksistensi tugas penting mereka yang lebih substantif.
Majelis Rakyat yang seharusnya peka terhadap aspirasi, malah mengangkangi suara konstituennya sendiri. Kepentingan rakyat tak pernah diakomodasi.
Titik tekannya adalah bahwa revisi penambahan jumlah pimpinan MPR lebih menggambarkan akomodasi kepentingan parsial yang terus menerus diulang dibandingkan kepentingan yang lebih subtil, menyeluruh, bagi rakyat Indonesia.
Toh polemik UU KPK sekarang bersumber dari ketidakpekaan mereka terhadap masukan dan aspirasi masyarakat serta kelompok sipil kebanyakan. Mereka abai dan tak pernah mendengar.
Dengan demikian, penambahan pimpinan MPR sebetulnya minim urgensi. Akomodasi berbagai kelompok kepentingan di kursi pimpinan MPR baik dari fraksi dan kelompok anggota memang ditengarai hanya untuk memuluskan wacana pengaktifan kembali GBHN melalui perubahan terbatas UUD 1945.
Wacana ini muncul atas inisiasi PDI-P dan merupakan hasil keputusan Kongres Nasional Partai ke V di Bali pada 10 Agustus 2019 (Kompas, 10/08/2019).
Saat itu disebutkan pentingnya menghidupkan kembali GBHN sebagai arah dan tuntunan pembangunan Indonesia ke depan.
Tujuannya agar setiap kali rezim berganti, pemerintah tetap berada dalam on the track pembangunan berkelanjutan dengan haluan yang telah ditetapkan (Tempo, 10/08/2019).
Wacana ini juga sudah jauh hari mendapat tentangan keras dari publik.
Sebagaimana dilaporkan oleh PHSK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) dalam catatannya “5 Alasan Menolak Upaya Mengembalikan GBHN Melalui Amandemen UUD 1945”, ada lima faktor mengapa reaktivasi GBHN mesti ditolak.