Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU MD3 dan Pimpinan MPR, Potret Pragmatisnya Politisi Kita

Kompas.com - 08/10/2019, 07:14 WIB
Ahmad Nurcholis,
Heru Margianto

Tim Redaksi

 

Beberapa partai seperti PAN, Golkar, PPP yang semula bersama KMP menyeberang ke KIH setelah mendapat posisi menteri.

Perubahan peta koalisi ini telah mendorong diadakannya kembali revisi UU MD3. Kali ini untuk mengakomodasi kepentingan KIH yang belum sempat merasakan struktur jabatan di parlemen.

Hasrat kuasa ini baru terpenuhi setelah diadakannya revisi kedua atas UU MD3 dengan menambah 1 pimpinan DPR, 3 pimpinan MPR, dan 1 pimpinan DPD dengan catatan bahwa UU hasil revisi yang baru ini hanya berlaku sampai 2019.

Setelahnya, UU MD3 akan kembali ke sistem proporsional menggantikan sistem paket pemilihan pimpinan DPR terdahulu (Tirto, 8/2/2018).

Namun, belum sempat UU MD3 hasil revisi tahun 2018 dilaksanakan, UU tersebut kembali direvisi dengan inisiasi menambah pimpinan MPR menjadi 10 (Sindonews, 30/08/2019).

Hal itu berlaku sejak 6 September 2019 (Kompas, 16/09/2019). Beberapa minggu sebelum pelantikan dewan yang baru.

Paradoks

Kesigapan DPR menyelesaikan RUU MD3 menjelang masa akhirnya sungguh paradoks. Antusiasme dewan terhadap UU yang membawa keuntungan bagi kelompoknya patut disasar sebagai sebuah petaka.

Pasalnya mereka tampak lamban bilamana menyangkut UU yang terkait kepentingan publik.

Bahkan kalaupun berhasil menyelesaikan, UU yang dinanti publik tersebut jauh dari ekspektasi dan mengecewakan. Fenomena demonstrasi akhir-akhir ini menangkap gejala kekecewaan tersebut.

Karenanya, revisi ketiga UU MD3 melalui penambahan jumlah pimpinan MPR, dari 7 menjadi 10 nyatanya telah menegaskan prahara politik kebangsaan baru.

Di tengah tuntutan rakyat yang tak kunjung digubris, bagi-bagi pos jabatan antar fraksi parlemen tentu menegasikan eksistensi tugas penting mereka yang lebih substantif.

Majelis Rakyat yang seharusnya peka terhadap aspirasi, malah mengangkangi suara konstituennya sendiri. Kepentingan rakyat tak pernah diakomodasi.

Titik tekannya adalah bahwa revisi penambahan jumlah pimpinan MPR lebih menggambarkan akomodasi kepentingan parsial yang terus menerus diulang dibandingkan kepentingan yang lebih subtil, menyeluruh, bagi rakyat Indonesia.

Toh polemik UU KPK sekarang bersumber dari ketidakpekaan mereka terhadap masukan dan aspirasi masyarakat serta kelompok sipil kebanyakan. Mereka abai dan tak pernah mendengar.

Minim urgensi

Dengan demikian, penambahan pimpinan MPR sebetulnya minim urgensi. Akomodasi berbagai kelompok kepentingan di kursi pimpinan MPR baik dari fraksi dan kelompok anggota memang ditengarai hanya untuk memuluskan wacana pengaktifan kembali GBHN melalui perubahan terbatas UUD 1945.

Wacana ini muncul atas inisiasi PDI-P dan merupakan hasil keputusan Kongres Nasional Partai ke V di Bali pada 10 Agustus 2019 (Kompas, 10/08/2019).

Saat itu disebutkan pentingnya menghidupkan kembali GBHN sebagai arah dan tuntunan pembangunan Indonesia ke depan.

Tujuannya agar setiap kali rezim berganti, pemerintah tetap berada dalam on the track pembangunan berkelanjutan dengan haluan yang telah ditetapkan (Tempo, 10/08/2019).

Wacana ini juga sudah jauh hari mendapat tentangan keras dari publik.

Sebagaimana dilaporkan oleh PHSK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) dalam catatannya “5 Alasan Menolak Upaya Mengembalikan GBHN Melalui Amandemen UUD 1945”, ada lima faktor mengapa reaktivasi GBHN mesti ditolak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Tanggal 31 Maret Memperingati Hari Apa?

Nasional
Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

Nasional
Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Nasional
MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

Nasional
Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Nasional
Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Nasional
Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Nasional
Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Nasional
Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com