Dalam kondisi seperti itu, setiap orang potensial berstatus homo sacer: orang-orang yang menjadi objek kekerasan tanpa tameng perlindungan hukum dan tanpa konsekuensi apa pun bagi pelaku kekerasan (Agus Sudibyo, Demokrasi dan Kedaruratan, 2019).
Dua argumentasi di atas, bagi penulis, harus ditimbang untuk memperbaiki locus demokrasi Indonesia.
Pertama, tafsir bahwa rakyat sudah menyerahkan hak daulatnya pada parlemen pasca-pemilu seringkali dijadikan adagium untuk tidak melibatkan publik dalam isu-isu publik.
Ini akan berbahaya, karena rakyat selalu berdaulat.
Pembuatan undang-undang, seperti pada kasus revisi UU KPK, wajib melibatkan publik dalam ruang dialog yang cukup. Bukan monolog. Bukan partisipasi basa-basi dikunci waktu yang sangat “sadis” menghentikan diskursus di publik.
Tentu kita bisa berbeda argumen soal penguatan atau pelemahan KPK. Tapi semua diuji di publik dalam suasana setara, penuh kebebasan, rasionalitas disertai waktu yang cukup.
Kedua, konteks kedaruratan harus dibatasi waktu. Pengambilan kebijakan harus terukur. Pendekatan represif harus dihindari. Sebab akan berakibat sangat jauh bagi pelembagaan demokrasi yang berkualitas.
Aksi sudah telanjur membesar. Risiko apabila terlambat mengambil keputusan memperburuk suasana. Maka, dalam eskalasi demikian, gagasan menerbitkan Perppu yang membatalkan UU revisi UU KPK menjadi niscaya.
Pasal 22 UUD 1945 memberikan peluang untuk itu di mana Presiden dalam kegentingan memaksa dapat menerbitkan Perppu.
Tentu terdapat syarat subyektif dan obyektif (seperti genting dari segi waktu, substansi atau kekosongan hukum misalnya, merujuk Putusan MK) namun persyaratan demikian dapat ditafsir sendiri oleh Presiden dengan mengingat suasana yang semakin tidak kondusif.
Di dalam kondisi yang buram, maka para pihak, entah menteri, panglima, anggota dewan dan tokoh publik harus mengeluarkan pernyataan menyejukkan. Tidak memproduksi prasangka. Bahkan, memberikan wahana bagi toleransi dan upaya menuju perdamaian yang hakiki.
Sebab, kini tengah berhadapan dua prasangka diametral yang sama-sama tidak baik antara pemerintah dan masyarakat.
Untuk itu, politik prasangka harus diredam dengan membangun kepercayaan kedua belah pihak. Dugaan penunggangan. Ancaman makar. Atau apa pun harus dieliminasi. Biar hukum yang bekerja membuktikan itu. Sementara para pihak lebih mewahanakan saling pemahaman sembari mencari solusi yang terbaik.
Indonesia membutuhkan politisi yang negarawan. Masyarakat yang rasional. Kampus kritis namun etis. Indonesia dipastikan harus dirajut dalam kemajemukan anti kekerasan.
Untuk itu, semua pihak harus menyadari, rumah kita hanya Indonesia. Maka, semua pihak harus bekerja keras untuk merawat republik ini dengan kepala dingin.
Memastikan apa yang sudah diraih---seperti demokrasi dan NKRI----tidak punah.
Dengan itu kita bisa memiliki eksistensi yang diharapkan “lebih abadi”. Seperti pekik Chairil Anwar, “kuingin hidup untuk 1000 tahun lagi”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.