JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 11 perusahaan menjadi tersangka kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang tersebar di enam wilayah.
Perusahaan tersebut berada di wilayah hukum untuk Polda Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
"Sebelas di antaranya sudah dilaksanakan penyidikan dan 84 dalam proses penyelidikan," kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (30/9/2019).
Bareskrim Polri sebelumnya menetapkan PT AP sebagai tersangka. Berikutnya, Polda Riau menetapkan PT SSS sebagai tersangka.
Baca juga: Tersangka Perusahaan Kebakaran Hutan dan Lahan Bertambah Jadi 11
Polda Jambi menetapkan PT DSSP dan PT MAS sebagai tersangka. Lalu, PT HBL ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatera Selatan.
Selanjutnya, Polda Kalimantan Selatan menetapkan dua perusahaan sebagai tersangka, yaitu PT MIB dan PT BIT.
Polda Kalimantan Barat menetapkan dua tersangka, yang terdiri dari PT SAP dan PT SISU.
Terakhir, di Kalteng, polda setempat menetapkan PT PGK dan PT GBSM sebagai tersangka.
Fadil mengatakan bahwa korporasi tersebut dijerat Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Pasal 187 dan 188 KUHP.
Baca juga: Menteri Singapura: Kebakaran Hutan di Indonesia Berdampak Besar pada Iklim
Tanggapan pengamat
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan bahwa perusahaan memang dapat dijadikan obyek penegakan hukum terkait kasus karhutla.
"Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menempatkan subjek hukum pelaku pidananya tidak hanya orang, tetapi juga perusahaan atau korporasi," ujar Fickar ketika dihubungi Kompas.com, Senin malam.
Nantinya, direktur utama atau jajaran direksi lainnya yang akan mewakili perusahaan sebagai tersangka atau terdakwa dalam persidangan.
Menurut Fickar, jajaran direksi perusahaan tersebut biasanya juga ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: KLHK Upayakan Perampasan Aset Korporasi yang Sebabkan Karhutla
Sebab, kebijakan perusahaan terkait dengan kepentingan direksinya.
"Biasanya dirutnya juga dijadikan tersangka, berdasarkan teori ultra vires, di dalam kebijakan sebuah korporasi melekat juga kepentingan sang Dirut, karena itu biasanya dirut nenjadi tersangka, salah seorang direksi mewakili korporasi sebagai tersangka atau terdakwa," ucap Fickar.
Kendati demikian, direksi tak akan diproses hukum jika tak ditemukan kepentingan mereka dalam kebijakan perusahaan.
Kemudian, perusahaan akan dijatuhi hukuman pokok berupa denda. Hukuman tambahan lainnya dapat berupa pencabutan izin.
"Korporasi hanya bisa dihukum dengan hukuman pokok, denda (Pasal 10 KUHP), dan hukuman tambahan pencabutan izin atau perampasan asetnya," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.