Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Paripurna, Politikus PKS Ini Ngotot RKUHP Tetap Disahkan

Kompas.com - 26/09/2019, 15:04 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat paripurna ke-11 masa persidangan I 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9/2019), diwarnari interupsi.

Wakil rakyat Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzammil Yusuf ngotot supaya Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap disahkan dalam rapat tersebut.

Momen tersebut terjadi ketika pimpinan rapat Agus Hermanto membuka rapat paripurna. Tiba-tiba, Muzammil menginterupsi.

Menurut dia, RKUHP sebaiknya disahkan dalam rapat itu. Sebab, pembahasannya bersama pemerintah telah rampung diselesaikan.

Asalkan, pasal-pasal kontroversi di dalamnya dicabut.

"Pasal penghinaan presiden itu kita cabut, dan kedua RUU KUHP yang sudah dibahas dengan DPR dan pemerintah seluruh fraksi kita sahkan periode ini, sebagai bagian dari suksesnya reformasi hukum," ujar Muzammil.

"Kita ini ingin mengakhiri penjajahan asing dalam bentuk perundang-undangan lebih dari 1 abad. Allahuakbar, merdeka! Wassalam," lanjut dia.

Baca juga: Takut Kehilangan Pekerjaan, Tukang Gigi Minta Satu Pasal RKUHP Dicabut

Fraksi PKS mengusulkan pasal 218, 219 dan 220 terkait penyerangan dan hak martabat presiden dan wakil presiden dihapus.

Sebab, menurut dia, pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus multitafsir.

"Putusan mahkamah konstitusi No 13/2006 No 6/2007 yang mencabut pasal 134, 136, 137 dan Pasal 154, 155 KUHP terkait dengan penghinaan presiden, dengan pertimbangan MK yaitu: menimbulkan ketidakpastian hukum karena sangat rentan pada tafsir, apakah suatu protes pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden," ujar dia.

Muzammil menilai, pasal penghinaan presiden dalam RKUHP itu dapat mengancam kebebasan pers. Ia mengatakan, sebagai negara demokrasi presiden dan wakil presiden harus siap dikoreksi oleh rakyat.

"Jika tidak, akan berpotensi kekuasaan yang otoriter, sakralisasi terhadap institusi kepresidenan yang disebut power tend to corrupt, absolut power, corrupt absolutly. Kekuasaan dikorupsi dengan semena-mena," lanjut dia.

Baca juga: Penolakan RKUHP Masif, Wapres Minta DPR dan Pemerintah Dialog dengan Publik

Menanggapi Muzammil, anggota DPR dari Fraksi PDI-P Jimmy Demianus Ijie mengatakan, RKUHP perlu ditunda pengesahannya.

Ia berpendapat, sebaiknya DPR membahas ulang pasal-pasal dalam RKUHP karena hal itu menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Menanggapi apa yang tadi diusulkan teman kita dari PKS, soal RUU KUHP, menurut hemat kami, semestinya ini ditunda dulu, agar dibicarakan lebih baik, lebih teliti, lebih hati-hati, karena ini urusan kita berbangsa bernegara," kata Jimmy.

 

Kompas TV Unjuk rasa mahasiswa menolak RUU KUHP dan Revisi Undang Undang KPK masih terjadi di sejumlah daerah. Di Jakarta aksi lanjutan dilakukan sejumlah pelajar SMK dan berakhir di kawasan DPR. Pemerintah dan DPR harus membuka ruang dialog kepada publik sebelum menetapkan Rancangan Undang Undang. Sehingga tidak ada lagi penolakan yang bisa berujung pada demonstrasi yang ricuh. Bagaimana menjaga agar tidak ada lagi kegaduhan terkait sejumlah RUU kontroversial salah satunya RUU KUHP yang terus diprotes para mahasiswa? #RUUKUHP #RUUKPK #Demonstrasi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Nasional
Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin 'Gemoy'

PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin "Gemoy"

Nasional
Golkar Sedang Jajaki Nama Baru untuk Gantikan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta

Golkar Sedang Jajaki Nama Baru untuk Gantikan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
DPR Segera Panggil KPU untuk Evaluasi Pemilu, Termasuk Bahas Kasus Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

DPR Segera Panggil KPU untuk Evaluasi Pemilu, Termasuk Bahas Kasus Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

Nasional
Sinyal 'CLBK' PKB dengan Gerindra Kian Menguat Usai Nasdem Dukung Prabowo-Gibran

Sinyal "CLBK" PKB dengan Gerindra Kian Menguat Usai Nasdem Dukung Prabowo-Gibran

Nasional
Jadi Presiden Terpilih, Prabowo Tidak Mundur dari Menteri Pertahanan

Jadi Presiden Terpilih, Prabowo Tidak Mundur dari Menteri Pertahanan

Nasional
Polri: Hingga April 2024, 1.158 Tersangka Judi Online Berhasil Ditangkap

Polri: Hingga April 2024, 1.158 Tersangka Judi Online Berhasil Ditangkap

Nasional
Ganjar Bilang PDI-P Bakal Oposisi, Gerindra Tetap Ajak Semua Kekuatan

Ganjar Bilang PDI-P Bakal Oposisi, Gerindra Tetap Ajak Semua Kekuatan

Nasional
Nasdem Resmi Dukung Prabowo-Gibran, Elite PKS dan PKB Bertemu

Nasdem Resmi Dukung Prabowo-Gibran, Elite PKS dan PKB Bertemu

Nasional
Ahmad Ali Akui Temui Prabowo untuk Cari Dukungan Maju Pilkada Sulteng

Ahmad Ali Akui Temui Prabowo untuk Cari Dukungan Maju Pilkada Sulteng

Nasional
PSI Daftarkan 10 Sengketa Pileg ke MK, Anwar Usman Dilarang Mengadili

PSI Daftarkan 10 Sengketa Pileg ke MK, Anwar Usman Dilarang Mengadili

Nasional
Golkar Lebih Ingin Ridwan Kamil Maju Pilkada Jabar

Golkar Lebih Ingin Ridwan Kamil Maju Pilkada Jabar

Nasional
Polri Lanjutkan Tugas Satgas Pengamanan untuk Prabowo

Polri Lanjutkan Tugas Satgas Pengamanan untuk Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com