JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyebut, ada penumpang gelap dalam demonstrasi yang berujung kerusuhan di sekitar Gedung DPR/MPR, sejak Selasa (24/9/2019) hingga Rabu (25/9/2019).
"Kelompok yang melakukan aksi-aksi ini semula murni dari adik-adik mahasiswa, ada pihak-pihak yang memanfaatkan, mengambil momentum ini untuk agenda tersendiri, bukan agenda (menolak) RUU," ujar Tito dalam konferensi pers di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
"Ada agenda politis yang tadi disebutkan Pak Menko Polhukam, yaitu untuk menjatuhkan pemerintah yang sah secara konstitusional," lanjut dia.
Ada beberapa temuan kepolisian yang mengarahkan pada kesimpulan tersebut.
Baca juga: Memaknai Poster Saat Demo Mahasiswa yang Bikin Senyum, Cermin Politik Nir-kekerasan
Namun, begitu menjelang malam, demonstrasi damai itu berubah menjadi kerusuhan. Kondisi itu pun berlangsung hingga sehari setelahnya.
"Dalam dua hari terakhir berubah menjadi aksi anarkis yang ditandai dengan perusakan, pembakaran, penutupan jalan, penganiayaan petugas, pelemparan batu, penggunaan roket mercon dan molotov juga kami temukan," papar Tito.
"Kami lihat ada semacam perubahan dua hari ini dari menggunakan cara damai menjadi cara-cara anarkis," lanjut dia.
Kedua, dari hal pertama tadi, ditemukan fakta bahwa demonstran mempersiapkan diri dengan senjata yang mematikan.
Baca juga: Polisi Pulangkan 56 Mahasiswa yang Terlibat Demo di DPR
Ketiga, polisi juga menangkap demonstran yang mengaku dibayar untuk mengikuti aksi unjuk rasa itu.
"Yang ditangkap juga sebagian di antaranya bukan mahasiswa, bukan juga pelajar. Mereka umumnya ini yang kalau ditanya aksi apa, soal RUU apa, mereka enggak ngerti," lanjut Tito.
Tito menyebut, dalam dua hari terakhir, lebih dari 200 demonstran ditangkap.
Diberitakan, demonstrasi yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah sejak Senin (23/9/2019) hingga dua hari setelahnya, berujung ricuh.
Demonstrasi tersebut digelar karena menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).