JAKARTA, KOMPAS.com - DPR dan pemerintah menyepakati pembentukan Tim Perumus (Timus) untuk membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Namun, dari semua fraksi, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak setuju dengan pembentukan tim perumus.
"Sekarang (di periode ini) kesimpulannya tadi sudah ada kesepahaman untuk membentuk timus dengan catatan PKS belum setuju," ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang seusai rapat panitia kerja (panja) DPR dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Baca juga: UI: 4 Hal Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Menurut Marwan, Fraksi PKS belum sepakat dengan seluruh substansi RUU PKS. Penolakan ini pernah disampaikan oleh Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini.
Ia menilai, ketentuan mengenai definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Bahkan, kata Jazuli, RUU PKS menciptakan budaya permisif atas perilaku seks bebas dan perzinaan.
"Kita belum sampai kesepahaman substansi," kata Marwan.
Kendati demikian, Marwan yakin ketidaksetujuan PKS tidak akan mengganggu proses pembahasan oleh timus.
Timus bertugas membahas semua daftar inventarisasi masalah dan seluruh pasal dalam draf RUU.
Masa kerja timus baru akan dimulai pada periode 2019-2024.
"Nanti lobi-lobi politik. Itu kan biasa. Kalau sudah mentok tidak ada kesepahaman, kembali lagi lobi politik," uca dia.
Marwan mengatakan, timus akan merumuskan perbandingan antara ketentuan pidana dalam RUU PKS dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sebab, ada pasal mengenai tindak pidana kekerasan seksual yang juga diatur dalam RKUHP, misalnya pemerkosaan dan pemaksaan aborsi.
Dengan begitu, bobot pemidanaan dalam RUU-PKS dapat selaras dengan ketentuan dalam RKUHP.
Di sisi lain, terdapat tiga pengelompokkan masalah dalam draf yang tidak perlu dibahas oleh Timus, yakni bab pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi.
"Sehingga nanti kita bila membuat ini sebagai UU lex specialis, kita menambah pembobotan pidananya di (pasal) mana," ucap Marwan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.