Putusan-putusan Mahkamah Agung sudah tegas menolak uji materi PP 99/2012 tersebut, dan dengan jelas memutuskan PP tersebut tidak bertentangan dengan UU HAM, UU Pemasyararakatan, ataupun UU Pembentukan Peraturan PerUUan.
Bahkan, ketika ada upaya untuk membatalkan PP 99 itu ke MK, dengan menguji UU Pemasyarakatan, MK pun dengan tegas menolak permohonan itu.
Baca juga: JEO-Polemik RKUHP, dari Menjerat Ranah Privat sampai Mengancam Demokrasi
Jadi, sekali lagi, argumentasi bahwa PP 99/2012 yang mengetatkan pemberian hak napi korupsi adalah melanggar HAM, diskriminatif, dan lain-lain, adalah retorika yang manipulatif dan menyesatkan.
Senyatanya, argumentasi itu mungkin dibuat karena ketidakpahaman, alias persoalan kapasitas intelektual, atau karena sudah tahu tapi tetap memilih kebijakan koruptif, alias persoalan integritas moral.
Karena revisi UU KPK sudah disetujui bersama Presiden dan DPR, ke depan hanya ada empat kemungkinan yang bisa terjadi secara hukum tata negara.
Pertama, Presiden menandatangani RUU tersebut dan resmi diundangkan.
Kedua, Presiden tidak menandatangani RUU tersebut, dengan berbagai pertimbangan, termasuk mengirimkan pesan seolah-olah berubah pikiran dan menolak RUU tersebut.
Namun, tanpa tanda tangan Presiden sekali pun, dalam waktu 30 hari sejak disetujui bersama maka RUU tersebut akan tetap sah menjadi UU yang berlaku.
Baca juga: Pilpres 2019, Minus Gereget Pemberantasan Korupsi?
Ketiga, karena desakan penolakan makin menguat maka Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) yang membatalkan revisi UU KPK, dan menyelamatkan KPK dari kematian.
Yang terakhir, keempat, jika revisi UU KPK tetap diundangkan maka yang tersisa adalah menguji konstitusionalitasnya ke hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi.
Argumentasi yang bisa dibangun di MK antara lain, UUD 1945 adalah kitab utama antikorupsi kita dalam bernegara, sedangkan revisi UU KPK membuat KPK mati dan koruptor merajalela.
Lalu, ada beberapa norma dalam revisi UU KPK yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
Baca juga: JEO-Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial
Kepada MK juga harus dijelaskan bahwa norma-norma dalam revisi UU KPK tidak termasuk dalam kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy).
Bagaimanapun, jika norma-norma revisi tersebut menyebabkan agenda pemberantasan korupsi terganggu maka norma demikian harus dianggap bertentangan dengan konstitusi kita yang antikorupsi.
Terus terang, saya masih berharap Presiden Jokowi berkenan menerbitkan perppu yang membatalkan berlakunya revisi UU KPK. Meskipun saya tahu, hal demikian tidaklah mudah tetapi tetap layak terus diperjuangkan dan disuarakan.
Baca juga: JEO-Setelah KPK Dikebiri dan Tak Sakti Lagi...
Jika pun tidak berhasil maka opsi yang tersisa tinggal uji materi ke MK.
Meskipun beberapa kalangan tidak terlalu optimis dengan hasil akhir di MK, harapan tetap perlu disematkan ke sembilan negarawan hakim Mahkamah. Semoga saja hati mereka terketuk dan palu keadilan MK bisa menyelamatkan KPK.
Kalau putusan MK menguatkan revisi UU KPK, maka KPK betul-betul is dead.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.