Secara kelembagaan, pilar utama KPK adalah keberadaannya sebagai lembaga negara yang independen (independent agency).
Hal demikian nyata diperlukan KPK karena kronisnya penyakit korupsi kita yang sudah masuk ke seluruh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Karenanya, KPK tidak boleh berada di salah satu cabang kekuasaan itu dan harus independen agar efektif.
Maka, revisi UU KPK yang meletakkan KPK ke dalam rumpun eksekutif, alias menjadikannya sebagai executive agency, jelas-jelas telah menghilangkan roh kehidupan KPK.
Baca juga: Ekonom Sebut Revisi UU KPK Malah Bikin Investor Kabur
Secara kewenangan, KPK dilucuti dengan berbagai cara. Kewenangan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahannya dikebiri dengan mensyaratkan perizinan dari Dewan Pengawas.
Pimpinan KPK dikebiri dalam proses penyidikan dan penuntutan. Karena Pasal 21 ayat (5) yang berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum”, dihapus.
Kesempatan KPK untuk lebih efektif memberantas korupsi di daerah diamputasi, karena Pasal 19 ayat (2) yang memungkinkan KPK membentuk perwakilan di daerah juga dihilangkan.
Masih banyak detail lain, yang dengan kasat mata mengebiri kewenangan strategis KPK dan membuatnya lumpuh menjadi laiknya macan ompong, kehilangan taringnya.
Secara sumber daya manusia (SDM), KPK juga dilucuti. Sebagai aparatur sipil negara (ASN), pegawai KPK bukan hanya diletakkan di bawah presiden, melainkan di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Baca juga: Demo DPRD Tegal, Mahasiswa Pentaskan Teatrikal Matinya KPK oleh Penguasa
Hilang sudah independensi pegawai KPK yang menyebabkan mereka tidak mudah diintervensi melalui senjata birokrasi. Tidak ada lagi penyidik KPK yang independen, direkrut sendiri oleh KPK, karena semuanya akan ikut mekanisme rekrutmen ASN yang dilakukan oleh kementerian.
Dengan KPK yang tidak lagi independen dan kewenangannya lumpuh, retorika yang dibangun saat merevisi UU KPK, bahwa “KPK dikuatkan” jelas-jelas manipulatif dan menyesatkan.
Demikian pula, RUU Pemasyarakatan dimanipulasi dengan logika hukum yang keliru secara mendasar.
Diargumenkan bahwa remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi adalah hak azasi manusia (HAM). Sehingga, jika tidak diberikan adalah pelanggaran HAM. Diskriminatif. Kalau ingin dibatasi tidak boleh melalui peraturan pemerintah, tetapi harus dengan undang-undang atau putusan pengadilan.
Baca juga: Menelaah Sikap Jokowi, Mengapa Berbeda antara UU KPK dan RKUHP?
Argumentasi demikian membodohkan dan menyesatkan. Kekeliruannya sangat mendasar.
Remisi, pembebasan bersyarat, dan lain-lain adalah hak narapidana tetapi bukan HAM. Benar bahwa semua napi adalah manusia, tetapi bukan semua manusia adalah napi.
Karenanya, remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak napi, tapi bukan hak azasi manusia.
HAM adalah hak yang melekat kepada manusia sejak lahir. Tidak ada manusia yang pada dirinya sejak lahir melekat hak untuk mendapatkan remisi, karena tidak semua manusia terlahir sebagai napi.
Karena itu, dalam UU Pemasyarakatan yang lama dikatakan, syarat dan tata cara pemberian hak napi cukup diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, bukan dengan undang-undang.
Sekali lagi, karena hak napi bukan hak azasi manusia. Kalau HAM, memang jelas berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, pembatasannya harus dengan undang-undang.
Baca juga: Mahasiswa: Tuntutan Kami Jelas, Batalkan RKUHP dan UU KPK, Enggak Ada Lengserkan Jokowi
Lebih jauh, bahwa PP 99 Tahun 2012 yang mengetatkan—bukan menghilangkan—hak napi korupsi melanggar UU HAM, diskriminatif; melanggar UU Pemasyarakatan; melanggar UU Pembentukan Perundang-Undangan; adalah argumentasi yang terus diulang, tetapi sudah sah dinyatakan keliru melalui putusan pengadilan.