16. Dalam pelaksanaan Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN;
18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi Pegawai Tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN;
Baca juga: Ganjar Tanda Tangani Tuntutan Mahasiswa Tolak UU KPK hingga RKUHP
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
Dapat membuat KPK sulit menangani kasus-kasus korupsi besar seperti: EKTP, BLBI, Kasus Mafia Migas, korupsi pertambangan dan perkebunan, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar.
Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3, padahal KPK menangani korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum.
Baca juga: Demo Mahasiswa Tolak UU KPK Ricuh, Motor Polisi Dibakar, Mobil Patroli Dirusak
20. Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara, seperti: Perlunya izin untuk memeriksa pejabat tertentu.
Baca juga: Palmerah-Senayan, Pagi Setelah Demo Mahasiswa di DPR...
Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa;
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Baca juga: ICW Sebut UU KPK Hasil Revisi Jadi Pintu Masuk bagi Investor Bermasalah
22. Hilangnya posisi Penasehat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah Penasehat menjadi Dewan Pengawas atau Penasehat langsung berhenti saat UU ini diundangkan;
23. Hilangnya Kewenangan Penanganan Kasus Yang Meresahkan Publik (pasal 11)
Sesuai dengan putusan MK nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain, untuk dalam keadaan tertentu KPK dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaan yang tidak kunjung selesai, tidak memberikan kepastian hukum yang meresahkan masyarakat.
Baca juga: ICW Heran Jokowi Tak Cabut UU KPK, tetapi Minta RUU Lain Ditunda
24. KPK hanya berkedudukan di Ibukota negara
KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. Dengan sumber daya yang tersedia saat ini dan wilayah kerja seluruh Indonesia KPK dipastikan akan tetap kewalahan menangani kasus korupsi di seantero negeri.
25. Tidak ada penguatan dari aspek Pencegahan
Keluhan selama ini tidak adanya sanksi tegas terhadap Penyelenggara Negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur;
Kendala Pencegahan selama ini ketika rekomendasi KPK tidak ditindaklanjuti juga tidak terjawab dengan revisi ini. Seharusnya ada kewajiban dan sanksi jika memang ada niatan serius memperkuat Kerja Pencegahan KPK;
Baca juga: Artis-artis yang Protes UU KPK, RKUHP, hingga Kecewa Sikap Jokowi
26. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi, yaitu: pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi.
Padahal korupsi yang terjadi di instansi yang melakukan pelayanan publik akan disarakan langsung oleh masyarakat, termasuk korupsi di sektor perizinan.