Contohnya, tindak pidana perkosaan dalam perkawinan.
Meski telah dikategorikan sebagai tindak pidana, namun perkosaan dalam perkawinan tidak diatur dalam RUU KUHP maupun KUHP yang kini masih berlaku.
Baca juga: Komisi VIII dan Komisi III Akan Sinkronisasi RUU PKS dengan RKHUP
Masruchah mengatakan, hubungan seksual yang berdasarkan pada pemaksaan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual meski dalam relasi perkawinan.
"Ketika memang tidak ada persetujuan, ini ada pemaksaan, ini kaitan dengan ancaman bila tidak dilakukan, ini artinya bagian yang yang kita kenali sebagai perkosaan," ucap Masruchah.
Pengaduan kasus kekerasan seksual meningkat
Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019 yang dirilis Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan pengaduan kasus kekerasan.
Pada tahun 2018, Komnas Perempuan mencatat peningkatan pengaduan sebesar 14 persen dari tahun sebelumnya.
Peningkatan ini memang mengindikasikan semakin membaiknya kesadaran masyarakat untuk mengungkap kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Pembahasan RUU PKS Digelar Tertutup, Anggota DPR Protes
Kendati demikian, dibutuhkan pula legislasi yang mampu mencegah angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan semakin tinggi.
Sebab, saat ini masih banyak perempuan korban pelecehan seksual yang justru dikriminalisasi karena tidak ada payung hukum untuk melindungi perempuan.
Regulasi ini akan menjadi pelindung bagi korban pelecehan yang selama ini takut melapor.
Masruchah menilai, RUU PKS dapat menjadi langkah awal dalam meruntuhkan relasi kuasa dan budaya patriarki.
Baca juga: Soal RUU PKS, Ketua Komisi VII Sebut Ada Keinginan Ganti Nama
Dua hal tersebut dinilai menjadi penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan.
Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran dan inses (perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah) masih merupakan kasus yang dominan dilaporkan.
Kasus marital rape atau perkosaan dalam perkawinan juga mengalami peningkatan pada tahun 2018.