Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fraksi PKS Sebut RUU Pertanahan Belum Layak Disahkan Akhir September, Ini Alasannya

Kompas.com - 23/09/2019, 09:20 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, pihaknya sudah mempelajari draft akhir Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan).

Namun, menurut dia, RUU tersebut lebih dominan pada iklim investasi dibandingkan pemerataan ekonomi dan keadilan agraria.

"Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan dasar pembentukan RUU Pertanahan ini," kata Mardani kepada wartawan, Senin (23/9/2019).

Baca juga: Masalah-masalah dalam RUU Pertanahan yang Bakal Rugikan Warga Sipil

Mardani mengatakan, fraksi PKS menilai ada beberapa alasan RUU Pertanahan belum layak disahkan pada 24 September nanti.

Pertama, dalam RUU tersebut tidak ada upaya kongkrit untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.

"Dalam pasal 27 dan pasal 31 dijelaskan bahwa Batas Maksimum Penguasaan Tanah per Provinsi oleh perorangan dan badan usaha tidak diatur secara detail dalam RUU Pertanahan ini, tapi hanya diatur dalam Peraturan Menteri," ujarnya.

Baca juga: Tolak RUU Pertanahan, Ribuan Petani Bakal Gelar Aksi 24 September

Mardani menilai, pasal-pasal dalam RUU pertanahan cenderung memberikan banyak kemudahan investasi kepada pegang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Berjangka Waktu.

Hal ini, kata dia, hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.

"Pasal 26 ayat (1) sampai (5) dijelaskan bahwa Badan Usaha dapat diberikan HGU maksimal selama 90 (sembilan puluh) tahun. Hal ini tentu saja menguntungkan penguasaha karena dalam PP 40 Tahun 1996, pemegang HGU maksimal selama 80 (delapan puluh) tahun," tuturnya.

Baca juga: Komisi II Sebut RUU Pertanahan Bisa Disahkan Akhir September, Sesuai Mau Jokowi

Mardani mengatakan, tidak ada upaya pemerintah untuk memprioritaskan pemberian Hak pakai kepada Koperasi Buruh Tani, Nelayan, UMKM dan Masyarakat Kecil lainnya.

"Ironisnya yang diatur dalam pasal 34 dan pasal 35 RUU Pertanahan ini adalah pemberian Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu kepada perorangangan dan Badan Usaha, yang prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pemberian HGU dan HGB," ucapnya.

Menurut Mardani, dalam pasal 46 ayat 9 huruf a masyarakat dibatasi akses untuk mengetahui pemilik hak atas tanah, kecuali untuk penegak hukum.

Baca juga: Pemerintah Bantah RUU Pertanahan Permudah Korupsi

"Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat turut berpartisipasi mengawasi pihak swasta yang memiliki tanah melebihi batas maksimum sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah," kata dia.

Mardani mengatakan, dalam draft RUU Pertanahan kebijakan memberantas mafia tanah dan pengendalian nilai tanah tidak diatur secara spesifik.

Ia menilai, pemerintah tak memiliki upaya untuk mengendalikan nilai tanah.

Selain itu, Mardani menilai, tidak ada upaya konkrit untuk mempercepat proses pengakuan tanah hukum adat dalam RUU Pertanahan sesuai yang diamanatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: KPA Sebut Banyak Masalah pada RUU Pertanahan, Apa Saja?

"Penjabaran pasal 5 pada draft RUU tentang Pertanahan ini, proses pengakuan tersebut masih sama dengan aturan yang ada selama ini, yaitu meliputi proses verifikasi keberadaan masyarakat hukum adat, proses tata batas tanah adat, proses evaluasi oleh Mendagri dan Menteri Kehutanan, serta proses penetapan melalui Perda Kabupaten/Kota atau Provinsi," jelasnya.

Selanjutnya, Mardani mengatakan, setelah disahkannya RUU Petanahan, maka status tanah-tanah bekas swapraja akan terhapus karena akan kembali menjadi tanah negara.

Oleh karenanya, ia berpendapat tanah-tanah hak bekas swapraja dibicarakan dalam forum Raja dan Kesultanan se-Nusantara.

"Mengingat selain Yogyakarta, tanah-tanah raja dan sultan di nusantara juga masih eksis dan masih digunakan oleh masyarakat sampai saat ini, walaupun tanpa legitimasi Hak Atas Tanah sebagaimana yang diakui dalam UUPA 5 Tahun 1960," pungkasnya.

Kompas TV Berikut rangkuman berita pilihan Kompas TV dalam TOP 3 NEWS: 1. Unjuk rasa di Jayapura, Papua, diwarnai aksi pembakaran sejumlah gedung dan pelemparan batu. Gedung kantor Majelis Rakyat Papua di Kotaraja, Jayapura, dibakar massa pengunjuk rasa yang menolak aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur.<br /> Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.<br /> Saat aksi unjuk rasa berlangsung seluruh anggota majelis rakyat Papua sedang melakukan kunjungan kerja.<br /> Usai berunjuk rasa di depan Gedung Majelis Rakyat Papua, massa pun bejalan menuju kantor Gubernur Papua, di Kota Jayapura. Sebelum menuju kota Jayapura, massa berkumpul di Sentani dan berjalan kaki menuju kantor DPR dan gubernur Papua.<br /> Unjuk rasa sempat menutup akses jalan dari Abepura menuju Kota Jayapura ditutup.<br /> Sejumlah sekolah memilih memulangkan siswanya dan sejumlah toko memilih untuk tutup. 2. Kapolri Jenderal Tito Karnavian membenarkan satu orang anggota TNI dan 3 polisi terluka saat mengamankan unjuk rasa di Deiyai, Papua.<br /> 1 anggota TNI gugur, 4 anggota polisi luka-luka, dan seorang warga tewas ketika unjuk rasa berlangsung.<br /> 3 anggota polisi dan 1 orang anggota TNI terluka akibat terkena busur anak panah saat massa menyerang mobil anggota TNI dan merampas 10 senjata api yang ada di dalamnya.<br /> Serangan busur panah tak hanya melukai anggota TNI dan polri, tetapi juga 3 orang masyarakat. Polisi menduga ada kelompok senjata yang menunggangi unjuk rasa di Deiyai, Papua, hingga berujung ricuh. 2 anggota polisi dan 2 anggota TNI yang terluka saat menjaga unjuk rasa di deyai/ papua/ sudah dievakuasi ke RSUD Mimika untuk mendapat perawatan intensif.<br /> Sementara jenazah satu anggota TNI yang tewas dalam tugas pengamanan sudah dibawa ke kampung halaman di Palembang. Menko Polhukam meminta unjuk rasa masyarakat di Papua tidak menggunakan senjata tajam karena selain membahayakan aparat juga membahayakan masyarakat sendiri.<br /> Pemerintah memastikan proses hukum untuk kasus rasisme akan berjalan tegas. Sementara itu, Wiranto menegaskan menolak tuntutan referendum dalam unjuk rasa di Deiyai, Papua. 3. Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, membenarkan adanya lahan milik adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, yang dekat dengan lokasi ibu kota baru, di Kalimantan Timur.<br /> Menurut Fadli Zon, Hashim Djojohadikusumo sudah puluhan tahun memiliki lahan di dekat lokasi ibu kota baru, melalui salah satu perusahaannya.<br /> Fadli membantah jika ada deal politik antara Jokowi dan Prabowo terkait lokasi ibu kota baru di Kalimantan Timur. Sebelumnya Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas&#39;ud, mengatakan ada lahan yang dikuasai Prabowo dan Hashim di kawasan tersebut. Sementara itu Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Negara, Sofyan Djalil, mengatakan masih akan memeriksa soal adanya keberadaan lahan milik Prabowo Subianto di lokasi ibu kota baru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com