JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, pihaknya sudah mempelajari draft akhir Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan).
Namun, menurut dia, RUU tersebut lebih dominan pada iklim investasi dibandingkan pemerataan ekonomi dan keadilan agraria.
"Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan dasar pembentukan RUU Pertanahan ini," kata Mardani kepada wartawan, Senin (23/9/2019).
Baca juga: Masalah-masalah dalam RUU Pertanahan yang Bakal Rugikan Warga Sipil
Mardani mengatakan, fraksi PKS menilai ada beberapa alasan RUU Pertanahan belum layak disahkan pada 24 September nanti.
Pertama, dalam RUU tersebut tidak ada upaya kongkrit untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.
"Dalam pasal 27 dan pasal 31 dijelaskan bahwa Batas Maksimum Penguasaan Tanah per Provinsi oleh perorangan dan badan usaha tidak diatur secara detail dalam RUU Pertanahan ini, tapi hanya diatur dalam Peraturan Menteri," ujarnya.
Baca juga: Tolak RUU Pertanahan, Ribuan Petani Bakal Gelar Aksi 24 September
Mardani menilai, pasal-pasal dalam RUU pertanahan cenderung memberikan banyak kemudahan investasi kepada pegang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai Berjangka Waktu.
Hal ini, kata dia, hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.
"Pasal 26 ayat (1) sampai (5) dijelaskan bahwa Badan Usaha dapat diberikan HGU maksimal selama 90 (sembilan puluh) tahun. Hal ini tentu saja menguntungkan penguasaha karena dalam PP 40 Tahun 1996, pemegang HGU maksimal selama 80 (delapan puluh) tahun," tuturnya.
Baca juga: Komisi II Sebut RUU Pertanahan Bisa Disahkan Akhir September, Sesuai Mau Jokowi
Mardani mengatakan, tidak ada upaya pemerintah untuk memprioritaskan pemberian Hak pakai kepada Koperasi Buruh Tani, Nelayan, UMKM dan Masyarakat Kecil lainnya.
"Ironisnya yang diatur dalam pasal 34 dan pasal 35 RUU Pertanahan ini adalah pemberian Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu kepada perorangangan dan Badan Usaha, yang prinsipnya tidak berbeda jauh dengan pemberian HGU dan HGB," ucapnya.
Menurut Mardani, dalam pasal 46 ayat 9 huruf a masyarakat dibatasi akses untuk mengetahui pemilik hak atas tanah, kecuali untuk penegak hukum.
Baca juga: Pemerintah Bantah RUU Pertanahan Permudah Korupsi
"Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat turut berpartisipasi mengawasi pihak swasta yang memiliki tanah melebihi batas maksimum sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah," kata dia.
Mardani mengatakan, dalam draft RUU Pertanahan kebijakan memberantas mafia tanah dan pengendalian nilai tanah tidak diatur secara spesifik.
Ia menilai, pemerintah tak memiliki upaya untuk mengendalikan nilai tanah.