JAKARTA, KOMPAS.com - Kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua memicu debat apakah masyarakat provinsi di ujung timur Indonesia itu punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Perdebatan juga kerap terjadi di dunia maya, terutama media sosial. Bahkan, perdebatan itu dilanjutkan di dunia nyata.
Salah satunya terjadi antara politisi PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko dengan jurnalis yang kini dikenal sebagai sutradara dan aktivis, Dandhy Dwi Laksono.
Budiman berpendapat bahwa referendum bukan jalan terbaik bagi Papua. Sedangkan, Dandhy menilai bahwa referendum bisa menjadi salah satu cara untuk mengakhiri konflik dan pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih.
Menurut Budiman Sudjatmiko, referendum malah berpotensi menimbulkan perpecahan dan menjadikan Indonesia terdiri dari negara kecil yang saling bertentangan.
Proses fragmantasi itu secara geopolitik dikenal dengan istilah Balkanisasi. Ini merujuk pada perang saudara antara negara-negara pecahan Yugoslavia seperti Serbia, Bosnia, dan Kroasia.
"Jika dipaksakan yang paling mungkin kita hadapi adalah balkanisasi. Konflik horizontal," ujar Budiman dalam debat yang berlangsung Sabtu (21/9/2019).
"Konflik horizontal selalu menyisakan luka yang jauh lebih dalam daripada konflik vertikal," kata dia.
Penjelasan pendiri Partai Rakyat Demokratik itu, serta debatnya dengan Dandhy Dwi Laksono menjadi artikel yang terpopuler di desk Nasional Kompas.com pada Minggu (22/9/2019).
Seperti apa penjelasan Budiman, Anda bisa baca selengkapnya: Budiman: Jika Referendum Dipaksakan, Kita Akan Menghadapi Balkanisasi
Ia berpendapat, warga Papua harus mendapatkan kembali ruang hidupnya tanpa kekerasan.
Menurut Dandhy, keberadaan aparat militer justru membatasi ruang gerak warga Papua dalam menyatakan pendapatnya.
"Yang penting sekarang adalah demiliterisasi. Mau cara apapun, konsep apapun, kalau 6.000 orang (militer) di-deploy ke sana, ya habis cerita. Jadi demiliterisasi itu wajib dilakukan dan mendesak," kata Dandhy.
Selengkapnya, bisa Anda baca dalam: Baca juga: Demiliterisasi dan Dialog Damai di Papua