Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Kedaulatan Negara di Udara dan Krisis Nasionalisme

Kompas.com - 22/09/2019, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada 8 Februari 1919 penerbangan internasional, antar-wilayah negara, pertama dibuka. Rutenya, Paris-London.

Saat itulah negara-negara mulai melihat betapa rawannya bila wilayah udara di atas teritori digunakan secara bebas oleh negara lain.

Kekhawatiran ini yang kemudian melahirkan Paris Convention pada 1919 yang merupakan cikal bakal Konvensi Chicago 1944 yang dengan tegas dan gamblang menyatakan bahwa “kedaulatan negara di udara adalah komplet dan eksklusif”.

Udara tidak dapat sama sekali disetarakan dengan wilayah perairan internasional di mana setiap negara dapat melintas dengan bebas.

Setiap negara yang ingin melintas di wilayah udara di atas teritorial negara lain harus izin. Tidak ada istilah lintas damai.

Setiap negara diberikan hak absolut dan independen atas wilayah udara di atas teritorialnya.

Risiko menghadang

Demikianlah, pengelolaan wilayah udara memang menuntut peraturan yang sangat keras, tegas dan kaku karena risiko yang akan dihadapi melalui udara sangat besar.

Selain 9/11, sejarah mencatat serangan mematikan lainnya yang datang dari udara. Kita ingat peristiwa Pearl Harbour, serangan Jepang yang memporak porandakan pangkalan Amerika Serikat di Pasifik.

Sebagai balasannya, Amerika melancarkan serangan udara yang mematikan di atas Hiroshima dan Nagasaki yang menghentikan Perang Dunia II pada 1945.

Tragedi yang terjadi di Laut Aru saat perebutan Irian Barat dan Peristiwa Bawean pada 2003 (pesawat tempur AS masuk wilayah Indonesia) adalah contoh fatal tentang gagalnya kita menjaga kedaulatan wilayah udara kita.

Merujuk Konvensi Chicago 1944, wilayah di atas teritorial Indonesia adalah komplet dan ekslusif. Indonesia terikat dengan konvensi ini karena Indonesia adalah anggota ICAO
(International Civil Aviation Organization)

Realita yang dihadapi

Ironisnya, saat ini, 2019, ada wilayah udara Indonesia berada dalam genggaman asing. Parahnya, sebagian kawasan tersebut dinyatakan terlarang (danger area). Artinya, semua pesawat tidak boleh melintas di atasnya, termasuk pesawat terbang Indonesia.

Bayangkan, kawasan udara di atas wilayah teritorial Indonesia ditetapkan oleh negara lain sebagai wilayah tertutup dan berbahaya.

Sulit menerima soal ini dengan akal sehat.

Sejatinya permasalahan ini sudah dipahami benar oleh pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 2015 , yaitu ditandai dengan keluarnya perintah Presiden untuk segera diselesaikan dengan segera.

Sayangnya, hingga kini belum juga terdengar sudah sampai di mana gerangan perkembangannya.

Merujuk kepada banyak analisis 10 tahun belakangan ini, maka kemungkinan benar sekali bahwa bangsa ini memang sedang berada di tengah-tengah arus keras dari badai “krisis nasionalisme”.

Sebagai penutup, bila persoalan itu tak juga kunjungan usai di bulan September ini maka benarlah pandangan soal September adalah bulan yang mengerikan.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Teken Keppres, Tunjuk Bahlil Jadi Ketua Satgas Percepatan Swasembada Gula

Jokowi Teken Keppres, Tunjuk Bahlil Jadi Ketua Satgas Percepatan Swasembada Gula

Nasional
Anak Buah SYL Disebut Temui Ahmad Ali saat Penyelidikan Kasus Kementan di KPK

Anak Buah SYL Disebut Temui Ahmad Ali saat Penyelidikan Kasus Kementan di KPK

Nasional
Halalbihalal Merawat Negeri

Halalbihalal Merawat Negeri

Nasional
Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com