Pada 8 Februari 1919 penerbangan internasional, antar-wilayah negara, pertama dibuka. Rutenya, Paris-London.
Saat itulah negara-negara mulai melihat betapa rawannya bila wilayah udara di atas teritori digunakan secara bebas oleh negara lain.
Kekhawatiran ini yang kemudian melahirkan Paris Convention pada 1919 yang merupakan cikal bakal Konvensi Chicago 1944 yang dengan tegas dan gamblang menyatakan bahwa “kedaulatan negara di udara adalah komplet dan eksklusif”.
Udara tidak dapat sama sekali disetarakan dengan wilayah perairan internasional di mana setiap negara dapat melintas dengan bebas.
Setiap negara yang ingin melintas di wilayah udara di atas teritorial negara lain harus izin. Tidak ada istilah lintas damai.
Setiap negara diberikan hak absolut dan independen atas wilayah udara di atas teritorialnya.
Demikianlah, pengelolaan wilayah udara memang menuntut peraturan yang sangat keras, tegas dan kaku karena risiko yang akan dihadapi melalui udara sangat besar.
Selain 9/11, sejarah mencatat serangan mematikan lainnya yang datang dari udara. Kita ingat peristiwa Pearl Harbour, serangan Jepang yang memporak porandakan pangkalan Amerika Serikat di Pasifik.
Sebagai balasannya, Amerika melancarkan serangan udara yang mematikan di atas Hiroshima dan Nagasaki yang menghentikan Perang Dunia II pada 1945.
Tragedi yang terjadi di Laut Aru saat perebutan Irian Barat dan Peristiwa Bawean pada 2003 (pesawat tempur AS masuk wilayah Indonesia) adalah contoh fatal tentang gagalnya kita menjaga kedaulatan wilayah udara kita.
Merujuk Konvensi Chicago 1944, wilayah di atas teritorial Indonesia adalah komplet dan ekslusif. Indonesia terikat dengan konvensi ini karena Indonesia adalah anggota ICAO
(International Civil Aviation Organization)
Ironisnya, saat ini, 2019, ada wilayah udara Indonesia berada dalam genggaman asing. Parahnya, sebagian kawasan tersebut dinyatakan terlarang (danger area). Artinya, semua pesawat tidak boleh melintas di atasnya, termasuk pesawat terbang Indonesia.
Bayangkan, kawasan udara di atas wilayah teritorial Indonesia ditetapkan oleh negara lain sebagai wilayah tertutup dan berbahaya.
Sulit menerima soal ini dengan akal sehat.
Sejatinya permasalahan ini sudah dipahami benar oleh pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 2015 , yaitu ditandai dengan keluarnya perintah Presiden untuk segera diselesaikan dengan segera.
Sayangnya, hingga kini belum juga terdengar sudah sampai di mana gerangan perkembangannya.
Merujuk kepada banyak analisis 10 tahun belakangan ini, maka kemungkinan benar sekali bahwa bangsa ini memang sedang berada di tengah-tengah arus keras dari badai “krisis nasionalisme”.
Sebagai penutup, bila persoalan itu tak juga kunjungan usai di bulan September ini maka benarlah pandangan soal September adalah bulan yang mengerikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.