SEJAK 2001, September dikenang sebagai bulan yang “mengerikan” karena di bulan itu terjadi peristiwa 9/11.
Dua buah pesawat teroris berisi penuh penumpang menabrakkan diri ke gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat.
Peristiwa yang memakan ribuan korban nyawa dan kerugian miliaran dolar itu disebut sebagai “United States Under Attack”, bahkan ada juga yang menyebutnya sebagai “The Second PearlHarbor”.
Peristiwa fatal itu terjadi akibat kelalaian dalam menjaga wilayah udara dalam pengendalian dan pengawasan yang ketat.
Ada slogan populer yang terkenal sejak zaman Romawi kuno tentang penguasaan wilayah udara: cujusest solum, ejus est usque ad coelom.
Siapa yang menguasai sebidang tanah, maka mereka menguasai juga ruang udara di atasnya.
Sebuah refleksi dari sikap yang tidak mengakui pemahaman tentang “freedom of the air” atau kebijakan “open sky”.
Wilayah udara di atas wilayah teritorial sebuah negara sangat menentukan martabat, kehormatan, dan kedaulatan serta eksistensinya.
Wilayah udara di atas wilayah teritorial harus dikuasai, dikendalikan, dan diawasi dengan ketat terkait “ancaman” yang akan segera datang menjelang.
Pada 1784 polisi Perancis sudah mengeluarkan larangan untuk menerbangkan balon ke udara yang dilakukan oleh Montgolfier tanpa mengurus izin terlebih dahulu.
Aturan itu di keluarkan demi keselamatan penduduk dan fasilitas umum di kawasan “percobaan” menerbangkan Balon.
Selanjutnya pada 1900-an pemerintah Perancis sudah mulai merasa terganggu dengan balon-balon udara Jerman yang diterbangkan mendekati wilayah perbatasan Perancis.
Penggunaan wilayah udara di atas teritorial Perancis dan Jerman telah mendorong diadakannya Paris Conference pada 1910. Intinya, setiap negara tidak menghendaki wilayah udara di atas teritorialnya dipergunakan secara bebas oleh negara lain.
Penggunaan wilayah udara di atas teritorial oleh negara lain dirasakan sebagai aktivitas yang sangat mengganggu privasi dan kebebasan gerak pemilik negara.