Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RKUHP soal Penghinaan Presiden, Kumpul Kebo, hingga Unggas, Ini Penjelasan Menkumham

Kompas.com - 21/09/2019, 08:56 WIB
Christoforus Ristianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta DPR menunda pengesahan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menuai polemik di masyarakat.

Jokowi sudah memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk menyampaikan sikap pemerintah ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019).

"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang butuh pendalaman lebih lanjut," sambungnya.

Baca juga: Komnas HAM Berharap Penundaan Pengesahan RKUHP Bukan untuk Ulur Waktu Saja

Yasonna pun menggelar konferensi pers di hari yang sama dan menjelaskan sejumlah ketentuan kontroversial yang masih ada dalam RKUHP.

Pasal-pasal kontroversial tersebut di antaranya seperti delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden (Pasal 218-220), delik penghinaan terhadap lembaga negara (Pasal 353-354), delik kesusilaan (Pasal 414-419), serta delik penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240-241).

Penghinaan presiden/wakil presiden

Yasonna menjelaskan, mengkritik kebijakan presiden dan wakil presiden (wapres) tidak akan diancam hukuman pidana berdasarkan RKUHP.

"Mengkritik kebijakannya tidak ada masalah ya, tapi bukan berarti seorang presiden bisa bebas dicaci-maki harkat martabatnya," kata Yasonna.

Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP

Diketahui, dalam Pasal 218 RKUHP Ayat (1), setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Sementara itu, Ayat (2) dalam pasal itu berbunyi, Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan antara lain Pasal 241, 247, atau 354.

"Pasal ini merupakan delik aduan dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," ucap Yasonna.

Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Dinilai Bertentangan dengan Amanat Konstitusi

Agar penghinaan tersebut diproses aparat penegak hukum, harus ada pengaduan tertulis oleh presiden atau wapres.

"Istilah yang digunakan bukan penghinaan tetapi penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wapres, yang pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah," paparnya kemudian.

Baca juga: Indonesia Kembali ke Era Pra-Reformasi jika Pasal Penghinaan Presiden Disahkan

Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang tercela tersebut, menurut Yasonna, dilihat dari aspek moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM.

"Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah," ucap Yasonna.

Kumpul Kebo

Aturan itu dimuat dalam Pasal 418 Ayat (1).

Bunyinya, Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Kumpul Kebo di RKUHP

Besaran denda kategori II, sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 sebesar Rp 10 juta.

Sekelompok warga  dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Demokrasi melakukan aksi saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Aksi yang bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena dapat mematikan perjuangan para pegiat sosial. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd.ANTARA FOTO/Aprillio Akbar Sekelompok warga dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Demokrasi melakukan aksi saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Aksi yang bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena dapat mematikan perjuangan para pegiat sosial. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd.

"Kohabitasi, ini merupakan delik aduan. Yang berhak mengadukannya hanya dibatasi hanya suami, istri, anak, dan orang tua," kata Yasonna.

Dalam Ayat (2) tertulis tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.

Baca juga: PDI-P Berikan Catatan Terkait Pasal Kumpul Kebo dalam RKUHP

Kemudian, ada Ayat (3) yang menyatakan, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat juga diajukan kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua atau anaknya.

"Jadi kalaupun dilakukan (diadukan) oleh pejabat desa, itu harus dengan izin tertulis orang tua, anak, istri, dan pengaduan dapat ditarik oleh yang bersangkutan," kata Yasonna.

 

Baca juga: Dalam RKUHP, Pasangan Kumpul Kebo Bisa Dipidana atas Aduan Kepala Desa

Kepada negara asing, Yasonna tak ingin aturan ini disalahartikan bahwa Indonesia berniat memenjarakan setiap orang asing yang datang ke Indonesia.

"Itu yang kita tidak mau dipersepsikan salah, seolah negara kita ini akan menangkapi orang seenak udel sampai jutaan orang masuk penjara hanya karena kohabitasi, kan itu delik aduan," ujar Yasonna. 

"Jadi kalau orang asing dituduh kohabitasi nanti di Bali, misalnya, harus datang orang tuanya harus datang anaknya mengadukan. Jadi jangan di-twist seolah dunia akan kiamat karena kita tangkapi semua orang," sambung Yasonna.

Aborsi

Yasonna menerangkan, soal ketentuan pemidanaan menyangkut aborsi dalam RKUHP, ancaman pidananya lebih rendah dan tidak berlaku bagi korban perkosaan atau karena alasan medis.

"Seorang perempuan yang diperkosa oleh karena dia tidak menginginkan janinnya, dalam terminasi tertentu dapat dilakukan atau karena alasan medis, mengancam jiwa misalnya dan itu mekanismenya juga diatur dalam Undang-undang Kesehatan," kata Yasonna.

Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Aborsi dalam RKUHP

Ketentuan pemidanaan soal aborsi dimuat dalam Pasal 470 Ayat (1) RKUHP.

Bunyinya, Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

"Ini sebenarnya sudah ada di KUHP yang sekarang (yang berlaku). Ancamannya berat, 12 tahun," katanya.

Baca juga: Pelaku Aborsi Berpotensi Dipenjara Lebih Lama Dibanding Koruptor

Adapun dalam aturan yang berlaku saat ini, ketentuan pemidanaan aborsi tercantum dalam Pasal 347 Ayat (1).

Bunyinya, "Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."

Alat kontrasepsi

Yasonna menyebut ketentuan pidana soal alat kontrasepsi dalam RKUHP sudah diupayakan agar lebih baik dibandingkan ketentuan di KUHP yang kini berlaku.

Adapun ketentuan yang dimaksud mengatur pidana bagi pihak yang dengan sengaja memperlihatkan alat kontrasepsi dan menunjukkan cara mendapatkannya kepada anak-anak.

"Ini ada di KUHP, ada di Undang-undang Kesehatan. Karena ini adalah hukum pidana kodifikasi, meng-codify ketentuan yang ada sebagai konstitusi hukum pidana, kita atur. Dan ancaman hukum pidananya itu lebih rendah dari KUHP yang ada," kata Yasonna.

Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Tunjukkan Alat Kontrasepsi ke Anak di RKUHP

Menurut Yasonna, ketentuan pidana dalam KUHP yang saat ini berlaku tercantum dalam Pasal 534.

Pasal itu menyatakan, "arangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.

Sementara dalam RKUHP, aturan itu tercantum dalam Pasal 414.

Pasal itu menyatakan, Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Baca juga: Di RKUHP, Memperlihatkan Alat Kontrasepsi ke Anak Didenda Rp 1 Juta

Ilustrasi KUHP dan KUHAPKOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Ilustrasi KUHP dan KUHAP

Sebagaimana diatur dalam Pasal 79, denda kategori I nilainya sebesar Rp 1 juta. Tidak ada ketentuan pidana kurungan dalam Pasal 414 tersebut.

"Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Terdapat pengecualian jika dilakukan untuk program keluarga berencana, pendidikan, pencegahan penyakit menular, dan untuk ilmu pengetahuan," kata Yasonna.

Ia juga menjelaskan, yang tak akan ada hukuman pidana bagi pihak yang berkompeten dan ditunjuk oleh pihak yang berwenang untuk menjelaskan alat kontrasepsi tersebut.

Baca juga: Siapa yang Bisa Dipidana dalam Pasal soal Alat Kontrasepsi di RKUHP?

"Dan ketentuan ini diatur juga dalam Undang-undang Kesehatan. Maka kita buat dia di dalam generic form-nya di sini. Karena ini adalah bersifat kodifikasi yang terbuka," kata dia.

Pengecualian pidana itu tertuang dalam Pasal 416 Ayat (1) dan Ayat (2) RKUHP.

Pidana untuk gelandangan

Yasonna mengaku ketentuan pidana menyangkut gelandangan telah diatur dalam KUHP saat ini.

"Itu juga ada di KUHP (yang berlaku). Kita atur sekarang justru kita lebih mudahkan," ucapnya.

Diketahui, dalam RKUHP, ketentuan tersebut diatur dalam Bagian kedelapan tentang Penggelandangan pada Pasal 432.

Pasal itu berbunyi, Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Baca juga: Soal Pasal Gelandangan dalam RKUHP, Ini Penjelasan Menkumham

Adapun dalam Pasal 49, pidana denda kategori I yakni sebesar Rp 1 juta.

Sedangkan Di KUHP yang berlaku kini, kata Yasonna, aturan itu tercantum dalam Pasal 505 Ayat (1).

Bunyinya, Barangsiapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Ia mengatakan, dalam pasal baru ini tidak ada kesan perampasan kemerdekaan sebagaimana yang termuat dalam pasal RKUHP saat ini.

Baca juga: Pasal Gelandangan di RKUHP Ini Dinilai Bertentangan dengan UUD 1945

Selain itu, ketentuan pidana dalam RKUHP ini memungkinkan dijatuhkan hukuman lain, seperti kerja sosial.

"Kita kenalkan dia hukumannya dimungkinkan dengan hukuman kerja. Ditangkap gelandangannya, disuruh kerja sama hakim. Ini kalau di hukum Belanda ini perampasan kemerdekaan, penjara. Kalau ini tidak, didenda atau disuruh kerja sosial, mengikuti latihan kerja, which is tujuannya demikian," kata Yasonna.

Unggas masih dipertahankan

Yasonna melontarkan, pasal soal unggas masih dipertahankan dalam RKUHP.

Alasannya, pasal ini masih dibutuhkan mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang masih mengandalkan sektor agraria.

"Ini sudah ada di KUHP yang sekarang, enggak diprotes sebelumnya. Mengapa ini masih diatur? Kita ini masih banyak desa, masyarakat kita masih banyak yang agraris, banyak yang jadi petani, masyarakat yang membuatkan sawah dan lain-lain, kadang ada orang yang usil," tuturnya.

Baca juga: Menkumham Ungkap Alasan Pasal soal Unggas Masih Dipertahankan di RKUHP

Dalam paparan Yasonna, ketentuan pemidanaan soal unggas diatur dalam Pasal 278.

Bunyinya, Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II.

Besaran denda kategori II, sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 sebesar Rp 10 juta. Pada KUHP lama, larangan soal ini juga diatur dalam Pasal 548. Hanya saja, pidana dendanya ringan, maksimal Rp 225.

Lalu, dalam Pasal 549 yang isinya sama dengan Pasal 279, denda yang dikenakan maksimal Rp 375. Revisi KUHP hanya menyesuaikan nilai dendanya dengan nilai rupiah saat ini.

"Jadi, dia enggak pidana badan, dia hanya denda dan itu ada di KUHP," kata dia.

Kompas TV Presiden Jokowi juga telah memerintahkan Menkum Ham untuk menyampaikan penundaan ini kepada DPR pengesahan RUU KUHP menurutnya tidak akan disahkan oleh DPR periode ini<br /> <br /> Jokowi berharap DPR punya sikap yang sama dengan pemerintah terkait penundaan pengesahan RUU KUHP Sebelumnya kritikan terhadap ruu kuhp disampaikan sejumlah kalangan salah satunya dari aliansi jurnalis independen yang menyoroti pasal tentang penghinaan presiden dan pemerintah dalam RKUHP<br /> <br /> Mereka menilai pasal ini tidak sejalan dengan semangat demokrasi sekaligus mengancam kebebasan pers. #Jokowi #RUUKUHP #KUHP
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com