JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta DPR menunda pengesahan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menuai polemik di masyarakat.
Jokowi sudah memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk menyampaikan sikap pemerintah ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
"Saya perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR ini. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tak dilakukan DPR periode ini," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9/2019).
"Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang butuh pendalaman lebih lanjut," sambungnya.
Baca juga: Komnas HAM Berharap Penundaan Pengesahan RKUHP Bukan untuk Ulur Waktu Saja
Yasonna pun menggelar konferensi pers di hari yang sama dan menjelaskan sejumlah ketentuan kontroversial yang masih ada dalam RKUHP.
Pasal-pasal kontroversial tersebut di antaranya seperti delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden (Pasal 218-220), delik penghinaan terhadap lembaga negara (Pasal 353-354), delik kesusilaan (Pasal 414-419), serta delik penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240-241).
Penghinaan presiden/wakil presiden
Yasonna menjelaskan, mengkritik kebijakan presiden dan wakil presiden (wapres) tidak akan diancam hukuman pidana berdasarkan RKUHP.
"Mengkritik kebijakannya tidak ada masalah ya, tapi bukan berarti seorang presiden bisa bebas dicaci-maki harkat martabatnya," kata Yasonna.
Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP
Diketahui, dalam Pasal 218 RKUHP Ayat (1), setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sementara itu, Ayat (2) dalam pasal itu berbunyi, Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan antara lain Pasal 241, 247, atau 354.
"Pasal ini merupakan delik aduan dan terdapat pengecualian jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," ucap Yasonna.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Dinilai Bertentangan dengan Amanat Konstitusi
Agar penghinaan tersebut diproses aparat penegak hukum, harus ada pengaduan tertulis oleh presiden atau wapres.
"Istilah yang digunakan bukan penghinaan tetapi penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wapres, yang pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah," paparnya kemudian.
Baca juga: Indonesia Kembali ke Era Pra-Reformasi jika Pasal Penghinaan Presiden Disahkan
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang tercela tersebut, menurut Yasonna, dilihat dari aspek moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM.
"Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah," ucap Yasonna.
Kumpul Kebo
Aturan itu dimuat dalam Pasal 418 Ayat (1).
Bunyinya, Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Kumpul Kebo di RKUHP
Besaran denda kategori II, sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 sebesar Rp 10 juta.
"Kohabitasi, ini merupakan delik aduan. Yang berhak mengadukannya hanya dibatasi hanya suami, istri, anak, dan orang tua," kata Yasonna.
Dalam Ayat (2) tertulis tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.
Baca juga: PDI-P Berikan Catatan Terkait Pasal Kumpul Kebo dalam RKUHP
Kemudian, ada Ayat (3) yang menyatakan, pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dapat juga diajukan kepala desa atau dengan sebutan lainnya, sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua atau anaknya.