JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pasal soal unggas masih dipertahankan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Alasannya, pasal ini masih dibutuhkan mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang masih mengandalkan sektor agraria.
"Ini sudah ada di KUHP yang sekarang, enggak diprotes sebelumnya. Mengapa ini masih diatur? Kita ini masih banyak desa, masyarakat kita masih banyak yang agraris, banyak yang jadi petani, masyarakat yang membuatkan sawah dan lain-lain, kadang ada orang yang usil," kata Yasonna dalam konferensi pers di Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Baca juga: Penjelasan Menkumham soal Pasal Aborsi dalam RKUHP
Dalam paparan Yasonna, ketentuan pemidanaan soal unggas diatur dalam Pasal 278.
Bunyinya, "Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II".
Besaran denda kategori II, sebagaimana tercantum dalam Pasal 79 sebesar Rp 10 juta.
Pada KUHP lama, larangan soal ini juga diatur dalam Pasal 548. Hanya saja, pidana dendanya ringan, maksimal Rp 225.
Baca juga: Menkumham: Mengkritik Kebijakan Presiden Tak Dipidana
Lalu, dalam Pasal 549 yang isinya sama dengan Pasal 279, denda yang dikenakan maksimal Rp 375.
Revisi KUHP hanya menyesuaikan nilai dendanya dengan nilai rupiah saat ini.
"Jadi, dia enggak pidana badan, dia hanya denda dan itu ada di KUHP," kata dia.
Meski Presiden Joko Widodo sudah meminta pengesahan RKUHP ditunda, Yasonna mengaku menjelaskan pasal-pasal yang menjadi perhatian publik untuk meluruskan mispersepsi yang timbul dari pasal ini.
"Jadi kami mengklarifikasi jangan seolah-olah ini KUHP baru membuat pasal pidana yang baru yang mengkriminalisasi semua orang. Ini yang kita mau jelaskan. Kadang dilihat pasalnya tanpa dilihat penjelasannya. Ini menjadi keliru dia," kata Yasonna.