JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Gubernur Jawa Barat Aher Heryawan (Aher) tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (20/9/2019) hari ini.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Aher tak bisa menghadiri pemeriksaan hari ini karena sedang berada di luar negeri.
"Yang bersangkutan sedang di luar negeri. Pemeriksaan akan dijadwalkan ulang," kata Febri dalam keterangan tertulis.
Menurut rencana, penyidik KPK memanggil Aher untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembangunan proyek Meikarta.
Ia rencananya diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Iwa Karniwa yang merupakan Sekretaris Daerah Jawa Barat ketika Aher menjabat sebagai gubernur.
Aher sebelumnya telah diperiksa KPK pada Selasa (27/8/2019) lalu. Saat itu, ia mengaku dimintai konfirmasi soal Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
"Ditanya fungsinya, saya katakan memberikan rekomendasi atas izin atau non izin sebelum izin tersebut diproses lebih lanjut oleh DPM PTSP. Ketika sebuah izin atau non izin ada kaitan tata ruang, maka sebelum izin mengizin tersebut dikeluarkan oleh DPM PTSP harus ada rekomendasi terlebih dahulu dari BKPRD," kata Aher setelah diperiksa.
Baca juga: Dalam Sidang Meikarta, Aher Mengaku Pernah Bertemu dengan Neneng di Moskwa
Dalam kasus ini, Iwa ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga meminta uang sebesar Rp 1 miliar kepada pihak PT Lippo Cikarang melalui Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi Nurlaili.
Uang itu untuk memuluskan proses rencana detail tata ruang (RDTR) di tingkat provinsi.
Kasus ini bermula ketika Neneng Rahmi menyampaikan pengajuan Raperda RDTR pada April 2017. Saat itu, Neneng diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bekasi untuk bertemu pimpinan DPRD Kabupaten Bekasi.
Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan itu.
Baca juga: Aher dan Deddy Mizwar Mengaku Tak Pernah Terima Uang dari Meikarta
Singkat cerita, Raperda RDTR Kabupaten Bekasi itu disetujui oleh DPRD Bekasi dan dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.
Namun, pembahasan raperda tingkat provinsi itu mandek. Raperda itu tidak segera dibahas oleh Kelompok Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), sedangkan dokumen pendukung sudah diberikan.
Neneng Rahmi kemudian mendapatkan informasi bahwa Iwa meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di provinsi.
Pada Desember 2017, Iwa diduga telah menerima uang Rp 900 juta dari Neneng melalui perantara. Neneng mendapat uang tersebut dari pihak PT Lippo Cikarang.