JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan semakin melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
Kurnia menilai agenda pemberantasan korupsi sudah diperlemah dengan terpilihnya pimpinan baru KPK. Itu diperparah dengan revisi UU KPK yang disahkan DPR.
"Jadi lengkap sudah tahun 2019 ini, lima pimpinan KPK ada figur yang bermasalah, KPK juga diperlemah dengan regulasi UU KPK dan ketika pelaku korupsi dipenjara dia dapat kemudahan pengurangan hukuman melalui RUU Pemasyarakatan," kata Kurnia dalam diskusi di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019).
Baca juga: Revisi UU Pemasyarakatan Dinilai Jadi Angin Segar bagi Koruptor
Dalam RUU Pemasyarakatan, salah satu poinnya menyebutkan tentang pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya kasus korupsi.
RUU tersebut menghilangkan ketentuan bagi aparat penegak hukum, yakni KPK, memberikan rekomendasi bagi napi koruptor yang mengajukan hak remisi hingga pembebasan bersyarat.
Dalam Pasal 12 Ayat (2) UU Pemasyarakatan sebelum revisi, ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).
Adapun PP yang ada saat ini adalah PP Nomor 99 Tahun 2012. PP itu memperketat pemberian hak remisi dan pembebasan bersyarat, yakni jika seorang narapidana kasus korupsi menjadi justice collaborator (JC) serta mendapat rekomendasi dari KPK.
"Sementara dalam RUU Pemasyarakatan menafikan isu itu (JC dan rekomendasi KPK). Padahal kita sependapat dengan PP 99 Tahun 2012 itu karena memang itu implementasi extraordinary crime korupsi, yang memang harus ada syarat khusus bagi orang yang ingin mendapatkan pengurangan hukuman," kata dia.
Menurut Kurnia, dengan adanya revisi UU Pemasyarakatan itu kewenangan pembebasan bersyarat hanya berdasarkan penilaian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan saja.
"Yang mana kalau kita nilai, yang harusnya mengajukan rekomendasi juga penegak hukum, karena dia yang tahu peran yang bersangkutan dalam konstruksi kasus. Kombinasi antara pemasyarakatan dan penegak hukum jadi sesuatu yang penting untuk menilai apakah orang ini layak atau tidak layak diberikan pembebasan bersyarat," kata Kurnia.
"Kan kalau klausul berkelakuan baik dan lain-lain, itu kan domain pemasyarakatan. Tapi misalnya kalau terkait peran di dalam kasusnya itu harus domain KPK," tambah dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik mengatakan, rancangan UU Pemasyarakatan yang akan disahkan dalam waktu dekat itu meniadakan PP Nomor 99 Tahun 2012.
Baca juga: Pengamat: Revisi UU KPK hingga UU Pemasyarakatan Jadi Paket yang Dinanti Koruptor
PP itu mengatur syarat rekomendasi dari aparat penegak hukum yang selama ini memberatkan pemberian pembebasan bersyarat bagi napi korupsi.
Dengan langkah terbaru di DPR ini, aturan mengenai pemberian pembebasan bersyarat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.
Namun, aturan soal justice collaborator dan rekomendasi KPK tidak tercantum dalam PP Nomor 32 Tahun 1999 itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.