JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai, nuansa kolonialisme begitu kental terasa dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sejumlah pasal dalam RKUHP dianggap bermasalah dan justru mengembalikan Indonesia ke masa sebelum merdeka.
"Nuansa bahwa itu kembali ke kolonialisme jadi lebih terasa dibandingkan slogan para pembentuk RKUHP yang mengatakan ini adalah dekolonialisasi. Jadi berseberangan," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
Menurut Feri, beberapa pasal dalam RKUHP memang bermasalah.
Baca juga: Di RKUHP, Memperlihatkan Alat Kontrasepsi ke Anak Didenda Rp 1 Juta
Misalnya, Pasal 432 yang menyatakan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Denda yang dikenakan mencapai Rp 1 juta.
Belum lagi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Dalam Pasal 218 diatur, setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp 150 juta.
Kemudian, Pasal 219 menyebut bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp 150 juta.
Oleh karena itu, alih-alih semakin memerdekan bangsa, RKUHP justru semakin memenjarakan masyarakat Indonesia.
"Di mana dekolonialisasinya? Bahkan lebih bisa dikatakan mirip dengan semangat kolonial untuk memenjarakan beberapa hal yang kemudian berseberangan dengan ke-Indonesia-an kita," ujar Feri.
Atas hal tersebut, Feri berpendapat, wajar jika RKUHP mendapat penolakan yang masif dari masyarakat.
Tidak heran jika mahasiswa hingga berbagai elemen pegiat berunjuk rasa menunjukan sikap penolakan mereka.
Baca juga: ICJR: RKUHP Harus Mendukung Reformasi, Bukan Kembali ke Masa Kolonial
"Wajar saja mereka menolak, ya karena beberapa hal kemudian dianggap justru berseberangan dengan pola kehidupan yang mereka jalani," kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.
Untuk diketahui, DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam Rapat Paripurna pada akhir September. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.