CUKUP tepat rasanya publik Indonesia tahun ini disuguhi film adaptasi sebuah novel Bumi Manusia karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu mengisahkan kehidupan sebuah keluarga elite Belanda di Wonokromo, Surabaya, pada era kolonial, ketika komunitas masyarakat Hindia Belanda dibentuk berdasarkan stratifikasi sosial.
Strata tertinggi setelah kaum kulit putih ialah kaum ningrat dan terpelajar. Stratifikasi sosial itu menjalar luas ke dalam banyak bentuk: kehidupan politik, prinsip ekonomi, sistem perdagangan, dan juga dunia peradilan.
Baca juga: ICJR Minta Pasal Multitafsir dan Berpotensi Overkriminalisasi di UU ITE Dihapus
Tidak cukup ruang untuk menceritakan film ini seluruhnya. Saya hanya mengapit satu scene, ketika terjadi kasus kematian seorang kulit putih, Herman Mellema yang kemudian dihubungkan dengan kehilangan hak asuh Nyai Ontosoroh terhadap anaknya sendiri, Annelies.
Pengadilan Surabaya dan Pengadilan Amsterdam bersepakat untuk meminggirkan hak asuh sang ibu setelah ia berhasil melepaskan diri dari jerat kasus pembunuhan.
Peradilan berjalan sangat buruk, memenangkan kepentingan “sang penjajah”, dan membunuh nilai-nilai kebenaran, otentisitas, dan keadilan.
Minke, pribumi Jawa, suami Annelies, yang awalnya merasa bangga dengan pendidikan Belanda menjadi muak dengan peradaban tinggi Eropa yang ternyata penuh kepalsuan dan diskriminasi.
Baca juga: Kritisi Penerimaan Dosen, Seorang Pengajar di Unsyiah Dilaporkan ke Polisi
“Tidak bisa mereka tidak melihat Pribumi tidak penyek, terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih. Lahir sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita harus melawan di pengadilan dengan segala daya dan dana,” ungkap Nyai Ontosoroh kepada menantunya, Minke (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1981).
Ironi hukum
Tulisan ini hadir bukan untuk membicarakan ironi masa lalu, tapi di dunia kontemporer, di era pascakolonial, tepatnya di Aceh. Seorang dosen perguruan tinggi negeri, harus menjadi tersangka tepat pada perayaan Hari Pendidikan Daerah Aceh, 2 September lalu.
Ironisme itu semakin menebal laksana air bah lepas dari topan. Ia dianggap melakukan tindak pidana pencemaran nama baik atas institusi pendidikannya sendiri.
Ia dituntut dengan Pasal 27 Ayat (3) UU No 19 tahun 2016 perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Semakin ironis karena yang melaporkan ialah koleganya sendiri, sesama dosen.
Baca juga: Dituduh Cemarkan Nama Baik Melalui Grup WhatsApp, Dosen Jadi Tersangka
Ironi pertama, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi di dunia perguruan tinggi? Bagamaina bisa kritik pada pimpinan dan institusi kampus harus menjadi aksi kriminal?
Sang dosen hanya melemparkan protes atas seleksi CPNS yang menurutnya tidak dilakukan dengan penuh kepatutan dan profesional. Protes itu hanya muncul di dalam grup WhatsApp dosen, terbatas, dalam bahasa yang “sangat normal”.
Dengan perkembangan teknologi informasi, orang bisa menikmati komunikasi di media sosial dengan mudah. Dunia sosial menjadi ruang penuh apresiasi dan kritik yang harus dimaknai dengan bijak.