Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lewat Petisi, Aktivis Ini Dorong Jokowi Gagalkan RKUHP

Kompas.com - 19/09/2019, 12:38 WIB
Devina Halim,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis jender dan HAM Tunggal Pawestri menggagas sebuah petisi yang meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada sidang paripurna DPR.

Petisi disampaikan melalui www.change.org dengan judul "Presiden Jokowi, Jangan Setujui RKUHP di Sidang Paripurna DPR". 

Dalam keterangan petisi tersebut, Tunggal menuturkan bahwa RKUHP dapat menjerat banyak kalangan yang semestinya tidak perlu terjerat hukum. Bahkan, yang menjadi korban sebuah tindak pidana.

"Sekarang nih kita enggak bisa cuek-cuek lagi. Karena siapa aja bisa dipenjara. Saya, kamu, keluarga kita, temen-temen kita, gebetan kita. #SEMUABISAKENA," tulis Tunggal seperti dikutip dari laman petisi tersebut, Kamis (19/9/2019).

Baca juga: PDI-P Berikan Catatan Terkait Pasal Kumpul Kebo dalam RKUHP

Ia menyebutkan 11 kategori orang yang dapat dijerat hukum apabila RKUHP tersebut disahkan.

Mereka terdiri dari korban pemerkosaan yang menggugurkan janin, perempuan yang bekerja dan harus pulang malam, dan perempuan yang mencari teman sekamar berbeda jenis kelamin demi menghemat biaya.

Kemudian, pengamen, gelandangan, tukang parkir, disabilitas mental yang ditelantarkan, jurnalis atau warganet yang mengkritik presiden, orangtua yang menunjukkan alat kontrasepsi ke anaknya, anak yang dilaporkan berzina oleh orangtuanya, serta pelanggaran terhadap hukum di masyarakat.

"Yang paling parah, kita bisa dipidana suka-suka dalam bentuk 'kewajiban adat' kalau dianggap melanggar 'hukum yang hidup di masyarakat'," tulis dia.

Baca juga: Pakar: Pembahasan RKUHP yang Tertutup Bisa Jadi Bahan Uji Formil ke MK

Ia juga menyinggung soal menurunnya ancaman hukuman bagi perbuatan memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum di RKUHP, dari semula 4 tahun menjadi 2 tahun penjara.

Ketika dihubungi Kompas.com, Tunggal mengatakan bahwa ia akan terus meningkatkan target tanda tangan untuk petisi tersebut.

"Iya, akan terus dinaikkan. Kalau bisa sampai satu juta (tanda tangan). Ini baru di-update tadi malam ya, jadi belum tersebar dengan luas. Semoga bisa tercapai," ujar Tunggal.

Nantinya, petisi tersebut, kata Tunggal, akan diserahkan kepada Presiden Jokowi.

Hingga berita ini dibuat, petisi tersebut sudah mendapatkan 246.775 tanda tangan per Kamis pukul 12.36 WIB.

Baca juga: Pemerintah dan DPR Sepakat Hapus Satu Pasal Perzinaan dalam RKUHP

Petisi tersebut kini menargetkan 300.000 tanda tangan.

Diberitakan, DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam Rapat Paripurna pada akhir September. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019). 

 

Kompas TV Tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi memiliki 12 tanah dan bangunan yang tersebar di sejumlah daerah dari Sidoarjo hingga Jakarta. Total 12 bidang tanah dan bangunan Imam senilai Rp 14 miliar. Selain itu, Imam juga memiliki 4 unit mobil dengan nilai Rp 1,7 miliar. Dari LHKPN pula, Imam tercatat memiliki harta bergerak lain senilai Rp 4,6 miliar. Ia juga punya surat berharga senilai Rp 463 juta serta kas dan setara kas Rp 1,7 miliar.Dengan demikian, ia tercatat memiliki harta Rp 22,6 miliar. Sebelumnya, KPK menetapkan Imam dan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, sebagai tersangka dalam kasus dana hibah Kemenpora kepada KONI pada Tahun Anggaran 2018 . Imam Nahrawi diduga telah menerima suap sebesar Rp. 14,7 miliar melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum selama 2014-2018. Dalam rentang 2016-2018 Menpora Imam Nahrawi diduga meminta uang senilai Rp 11,8 miliar sehingga total dugaan penerima sebesar Rp 26,5 miliar. #MenporaTersangka #iImamNahrawi #MenporaImamNahrawi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com