"Secara konsisten, dia (@menuwarteg) membuat giveaway murah hati sekali, memberikan Rp 50.000 untuk dua orang yang mencuit dengan tagar-tagar pro revisi UU KPK. Banyak sekali warganet yang me-retweet dan mencuit yang isinya tidak ada relasi dengan KPK, yang penting ada tagar," lanjut dia.
Baca juga: Pakar Medsos: Ada Buzzer Pro-revisi UU KPK Gunakan Modus Giveaway
Penelusuran Kompas.com di dunia maya membuktikan pernyataan Fahmi. Akun itu meminta warganet menulis kembali atau mengunggah kicauan di Twitter sebanyak-banyaknya dengan disertai tagar #KPKPatuhAturan sejak pukul 16.40 WIB hingga pukul 19.00 WIB.
Tidak hanya ungahan yang menuliskan hal relevan dengan KPK, namun banyak pula unggahan yang tak ada hubunganya dengan KPK.
Beberapa unggahan yang tak relevan, yakni, 'Bekasi #KPKPATUHAturan' 'Bojonggede #KPKPATUHAturan' dan 'Riau Kota Berasap #KPKPATUHAturan.
"Jadi yang penting adalah tagarnya, bukan isi cuitannya. Ketika tagar itu masuk lalu jadi trending topic di Twitter, yang penting muncul. Itu jadi alat atau tools mereka untuk memanipulasi publik," papar Fahmi.
Baca juga: Revisi UU KPK Disahkan, KPK Tetap Berupaya Temui Presiden
Penggunaan metode seperti ini dinilai memiliki dampak besar bagi opini pro revisi UU KPK. Seolah-olah mayoritas publik benar-benar mendorong revisi UU KPK. Padahal dorongan itu patut dicurigai by design.
"Jadi pada saat revisi UU KPK diketok, kampanye yang digunakan adalah dengan tagar 'KPKPATUHAturan'. Ini kan semacam opini yang dibangun seolah publik minta KPK jangan macam-macam, ikuti aturan," ujar dia.
Selain mendorong UU KPK direvisi, pada waktu yang bersamaan, buzzer-buzzer tersebut juga menggiring opini publik bahwa menguatnya kelompok radikal di lembaga KPK. Mereka mengistilahkannya sebagai "taliban".
"Isu taliban ini sering dan sukses dipakai oleh buzzer yang bertujuan agar publik ragu terhadap KPK dan menyetujui agar revisi disahkan dan berharap capim terpilih bisa membersihkan isu itu," ujar Fahmi.
Baca juga: Pakar Medsos: KPK Diserang Isu Radikalisme Saat Revisi UU KPK Bergulir
Terdapat dua kelompok yang kerap menjadi acuan warganet soal isu tersebut. Kelompok pertama adalah kelompok pendukung revisi UU KPK dengan menyebut lembaga antirasuah tersebut dipenuhi kelompok taliban.
Kedua, adalah orang-orang yang menolak revisi UU KPK dan menegaskan tidak ada orang-orang taliban di internal KPK.
"Yang pro revisi UU KPK dan menyebut isu taliban adalah para buzzer. Sedangkan yang kontra revisi adalah masyarakat biasa, yang dipimpin oleh anak dari Abdurrahman Wahid, yaitu Alisa Wahid dan Anita Wahid," papar Fahmi.
Kelompok pro revisi UU menyerang KPK dengan isu taliban bernada negatif. Narasi yang digunakan di media sosial, khususnya Twitter, disampaikan secara sistematis dan praktik tanpa ada perlawanan dari pihak kontra revisi.
Baca juga: Revisi UU KPK Berjalan Mulus, Barter dengan Pemindahan Ibu Kota?
Ismail mencontohkan, seperti akun @Billray2019 yang menyatakan "Jokowi Tidak Membunuh KPK. Selamat tinggal taliban di KPK. Kalian kalah lagi, kalian kalah lagi." Pernyataan tersebut diunggah pada 13 September pukul 10.03 WIB.
"Jadi upaya melemahkan KPK di media sosial itu terkoordinir dengan sangat bagus, hasilnya pun sangat bagus dengan mengggiring opini publik bahwa KPK memang harus dibersihkan," lanjut Fahmi.
Dengan penggunaan isu permasalahan di internal KPK tersebut, lanjut Fahmi, warganet termanipulasi dan menyetujui bahwa revisi diperlukan agar KPK menjadi lebih baik.
"Propaganda itu juga menjadi berhasil karena media massa membahasnya. Dari situasi ini, terlihat memang ada pembangunan narasi bahwa benar ada polisi taliban di KPK. Warganet beranggapan capim yang terpilih memiliki misi untuk membersihkannya," pungkas Fahmi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.