Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/09/2019, 23:20 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengkritik pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimuat dalam revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Menurut Bivitri, keberadaan Dewan Pengawas justru berpotensi menggagalkan penyelidikan kasus korupsi.

Sebab, bukan tidak mungkin Dewan Pengawas membocorkan proses penyelidikan maupun penyidikan ke pihak yang menjadi target operasi.

Baca juga: Anggota Baleg: Presiden Harus Konsultasi dengan DPR untuk Pilih Dewan Pengawas KPK

"Ketika lembaga independen ada Dewan Pengawas, sangat besar potensi nanti dia bocor," kata Bivitri dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2019).

"Bahkan mungkin anggota Dewan Pengawas yang akan bilang ke orang yang digeledah untuk menyembunyikan terlebih dahulu kejahatannya," sambungnya.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti usai sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2019).Kompas.com/Fitria Chusna Farisa Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti usai sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2019).

Apalagi, kata Bivitri, Dewan Pengawas ditunjuk langsung oleh Presiden. Bukan tidak mungkin mereka bakal diintervensi oleh pemerintah, utamanya dalam hal pemberian izin penyadapan.

Baca juga: Ketua DPP Nasdem: Jangan Sampai Dewan Pengawas KPK Masuk Angin

Bivitri mengatakan, seharusnya izin penyadapan KPK bukan diatur oleh Dewan Pengawas, melainkan oleh lembaga penegak hukum.

Oleh karenanya, menurut dia, keberadaan Dewan Pengawas beserta kewenangannya tidak bisa dibenarkan secara hukum pidana.

"Saya dalam posisi tidak setuju adanya Dewan Pengawas itu. Selain dia benar-benar mempreteli kewenangan KPK, dia juga secara pidana benar salah paham. Untuk mengobrak abrik KPK kita buat anomali dalam hukum pidana," ujarnya.

Baca juga: Beda Yasonna-Presiden soal Siapa yang Bisa Jabat Dewan Pengawas KPK...

Diberitakan sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.

Salah satu aturan yang bakal direvisi mengatur tentang pembentukan Dewan Pengawas.

Nantinya, Dewan Pengawas bertugas untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.

Kompas TV Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyepakati Revisi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hasil rapat akan dibawa ke Badan Musyawarah untuk kemudian disahkan dalam rapat paripurna. Pemerintah diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin. Mayoritas fraksi partai politik menyetujui 7 poin pembahasan terkait Revisi Undang Undang KPK. Namun Partai Gerindra dan PKS setuju dengan beberapa catatan. Sementara Partai Demokrat belum dapat memberikan keputusan. Kesepakatan forum membulatkan suara setuju. Sehingga pemerintah memutuskan agar pembahasan RUU KPK dibawa ke tahap selanjutnya. Salah satu pasal dalam Revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai dewan pengawas. DPR dan pemerintah juga sepakat untuk Dewan Pengawas KPK akan dipilih oleh presiden. Nantinya Dewan Pengawas KPK akan dipilih 5 orang dan menjabat selama 4 tahun. Dan posisi dewan pengawas bakal setara dengan pemimpin eksekutif KPK. #KPK #RevisiUUKPK #DPR
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Terkini Lainnya

Jokowi Dinilai Coba Antisipasi PKB Jadi Motor Hak Angket

Jokowi Dinilai Coba Antisipasi PKB Jadi Motor Hak Angket

Nasional
Persaingan Cucu-Cicit Soekarno di Pileg 2024: 3 Lolos Senayan, 2 Terancam Gagal

Persaingan Cucu-Cicit Soekarno di Pileg 2024: 3 Lolos Senayan, 2 Terancam Gagal

Nasional
Kasasi Ditolak, Eks Dirjen Kuathan Tetap Dihukum 12 Tahun Penjara di Kasus Satelit Kemenhan

Kasasi Ditolak, Eks Dirjen Kuathan Tetap Dihukum 12 Tahun Penjara di Kasus Satelit Kemenhan

Nasional
Praperadilan Budi Said Ditolak, Kejagung: Penyidik Sesuai Prosedur

Praperadilan Budi Said Ditolak, Kejagung: Penyidik Sesuai Prosedur

Nasional
RUU DKJ Sepakat Dibawa ke Sidang Paripurna DPR, Mendagri Ucapkan Terima Kasih

RUU DKJ Sepakat Dibawa ke Sidang Paripurna DPR, Mendagri Ucapkan Terima Kasih

Nasional
Dugaan Korupsi di LPEI: Kerugian Ditaksir Rp 2,5 Triliun, Ada 6 Perusahaan Lain yang Tengah Dibidik

Dugaan Korupsi di LPEI: Kerugian Ditaksir Rp 2,5 Triliun, Ada 6 Perusahaan Lain yang Tengah Dibidik

Nasional
Empat Anggota DPRD Kota Bandung Dicecar Soal Dugaan Titipan Proyek

Empat Anggota DPRD Kota Bandung Dicecar Soal Dugaan Titipan Proyek

Nasional
Ramai Unjuk Rasa Jelang Penetapan Hasil Pemilu, Ini Kata KPU

Ramai Unjuk Rasa Jelang Penetapan Hasil Pemilu, Ini Kata KPU

Nasional
Dukungan ke Airlangga Mengalir Saat Muncul Isu Jokowi Diusulkan Jadi Ketum Golkar

Dukungan ke Airlangga Mengalir Saat Muncul Isu Jokowi Diusulkan Jadi Ketum Golkar

Nasional
Sempat Mandek, Tol Gilimanuk-Mengwi Dibangun mulai September Tahun Ini

Sempat Mandek, Tol Gilimanuk-Mengwi Dibangun mulai September Tahun Ini

Nasional
KPK Cecar Eks Wali Kota Bandung Soal Tarif 'Fee Proyek' yang Biasa Dipatok ke Pengusaha

KPK Cecar Eks Wali Kota Bandung Soal Tarif "Fee Proyek" yang Biasa Dipatok ke Pengusaha

Nasional
Netralitas Jokowi Disorot di Forum HAM PBB, Dibela Kubu Prabowo, Dikritik Kubu Anies dan Ganjar

Netralitas Jokowi Disorot di Forum HAM PBB, Dibela Kubu Prabowo, Dikritik Kubu Anies dan Ganjar

Nasional
Penggelembungan Suara PSI 2 Kali Dibahas di Rekapitulasi Nasional KPU, Ditemukan Lonjakan 38 Persen

Penggelembungan Suara PSI 2 Kali Dibahas di Rekapitulasi Nasional KPU, Ditemukan Lonjakan 38 Persen

Nasional
Eks Wali Kota Banjar Cicil Bayar Uang Pengganti Rp 958 Juta dari Rp 10,2 M

Eks Wali Kota Banjar Cicil Bayar Uang Pengganti Rp 958 Juta dari Rp 10,2 M

Nasional
RI Tak Jawab Pertanyaan Soal Netralitas Jokowi di Sidang PBB, Kemenlu: Tidak Sempat

RI Tak Jawab Pertanyaan Soal Netralitas Jokowi di Sidang PBB, Kemenlu: Tidak Sempat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com