Pasal 43A mengatur syarat kesediaan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau dikenal istilah justice collaborator.
Kemudian, Pasal 43B ayat (3) mensyaratkan adanya rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan pembebasan bersyarat.
Namun, aturan soal justice collaborator dan rekomendasi KPK tidak tercantum dalam PP Nomor 32 Tahun 1995.
Erma mengatakan, dengan berlakunya kembali PP Nomor 32 Tahun 1995, pemberian pembebasan syarat tergantung pada vonis hakim pengadilan.
Terpidana kasus korupsi tidak dapat mengajukan pembebasan bersyarat jika hal itu tercantum dalam putusan hakim.
Baca juga: Pembebasan Bersyarat Pembunuh John Lennon Ditolak untuk Ke-10 Kalinya
Selain itu, pemberian pembebasan bersyarat mengacu pada penilaian Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham.
Menurut Erma, hal ini sejalan dengan asas hukum pidana dalam konteks pembatasan hak.
Berdasarkan asas hukum pidana, hak seorang warga negara, termasuk narapidana, hanya bisa dicabut atau dibatasi oleh dua hal, yakni undang-undang dan putusan pengadilan.
"Penerima remisi, cuti bersyarat dan lain sebagainya itu teman-teman di Pemasyarakatan yang akan menilai," kata Erma.
"Tapi sepanjang putusan pengadilan tidak menyebut bahwa hak-hak nya itu dicabut maka itu tetap berlaku, boleh mereka mengajukan. Diterima atau tidak tergantung Kemenkumham," ucap politikus dari Partai Demokrat itu.
Setelah disepakati dalam rapat kerja, rancangan UU Pemasyarakatan akan dibahas dalam pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.