Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 18/09/2019, 11:03 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - "Hari ini pimpinan juga akan mengirim surat kepada DPR sebagai terakhir yang akan membahas ini, nanti segera kita kirim. Mudah-mudahan kami masih mempunyai kesempatan untuk ikut bicara untuk menentukan undang-undang tadi."

Revisi Undang-Undang yang mengatur tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berjalan sangat cepat. Namun, KPK sebagai pihak yang menjadi obyek dalam undang-undang itu merasa tak pernah dilibatkan.

Saat menyampaikan pernyataan di Gedung Merah Putih KPK, Senin (16/9/2019), Ketua KPK Agus Rahardjo masih memupuk harapan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut masih bisa didiskusikan bersama.

Meskipun, pada Jumat (13/9/2019) malam, tiga pimpinan KPK menyatakan menyerahkan mandat pengelolaan KPK secara kelembagaan kepada Presiden Joko Widodo. Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang.

Agus dan pimpinan KPK, serta pegiat antikorupsi berharap KPK tak digembosi dengan adanya revisi UU tersebut. Ini termasuk dampak baik dan buruknya bagi lembaga antirasuah tersebut.

Baca juga: Tiga Pimpinan KPK Serahkan Mandat KPK ke Presiden, Apa Alasannya?

Agus menuturkan, KPK merasa perlu dilibatkan karena hingga kini lembaga antirasuah itu sama sekali belum menerima draf resmi revisi UU KPK.

Selain itu, Agus juga meminta DPR untuk tidak buru-buru membahas revisi UU KPK. Menurut Agus, pembahasan UU KPK perlu melibatkan banyak supaya aturan itu dapat disusun secara matang.

"Kalau bisa jangan buru-buru supaya ada pembahasan yang lebih matang lebih baik, dan lebih banyak melibatkan para pihak," ujar Agus.

Namun, satu hari kemudian, DPR mengetuk palu tanda pengesahan revisi UU KPK, Selasa (17/9/2019).

Baca juga: DPR Sahkan UU KPK Hasil Revisi

Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR.ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Pemerintah dan DPR menyepakati pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dihadiri oleh 80 orang anggota DPR.
Sangat cepat

Hanya butuh 12 hari, revisi UU KPK dibahas dan dengan mulus disahkan di DPR.

Sementara bagi Jokowi, hanya butuh waktu enam hari untuk menyetujui pembahasan revisi UU KPK itu.

Padahal, Presiden Jokowi mempunyai waktu 60 hari untuk merespon usulan inisiatif DPR.

Jokowi beralasan, pemerintah tak membutuhkan waktu lama karena revisi UU KPK yang diusulkan DPR hanya terdiri dari empat atau lima isu besar.

Bahkan, Jokowi maupun perwakilan pemerintah pun tak sempat bertemu dengan pimpinan KPK.

Baca juga: Mahfud MD: Sekarang Waktunya Presiden Ajak Bicara Pimpinan KPK

Kritik keras dari segala arah tak menghambat niatan pemerintah dan DPR merevisi undang-undang tersebut.

Satu hari sebelum disahkan, Jokowi menegaskan bahwa revisi UU KPK jalan terus meski mendapat kritik dari banyak pihak.

Jokowi pun mengajak semua pihak untuk mengawasi jalannya pembahasan revisi UU KPK antara pemerintah dan DPR.

"Mengenai revisi UU KPK itu kan ada di (gedung) DPR (pembahasannya). Marilah kita awasi bersama-sama, semuanya awasi," kata Jokowi.

Baca juga: Meski Banjir Kritik, Jokowi Pastikan Revisi UU KPK Jalan Terus

Aksi solidaritas SAVE KPK oleh pegawai dan pimpinan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (6/9/2019)KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN Aksi solidaritas SAVE KPK oleh pegawai dan pimpinan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (6/9/2019)
Substansi versi pemerintah

Jokowi juga menegaskan bahwa substansi revisi UU KPK yang diinginkan pemerintah sampai saat ini tidak berubah dari yang sudah disampaikan sebelumnya.

Pemerintah menyetujui pembentukan Dewan Pengawas, penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, wewenang KPK bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), hingga status penyidik KPK sebagai aparatur sipil negara.

Substansi yang disusulkan pemerintah itu hanya sedikit berubah dari draf RUU KPK yang diusulkan di DPR.

Misalnya, jangka waktu penghentian penyidikan yang diperpanjang dari satu tahun menjadi dua tahun.

Baca juga: Fraksi Kompak Revisi UU KPK, tetapi Begini Faktanya...

Salah satu kritik terhadap revisi UU KPK adalah berpotensi hilangnya KPK sebagai lembaga yang independen. 

Sebab, revisi UU KPK akan menghapuskan frasa KPK sebagai lembaga negara yang independen dan "bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun".

Meski demikian, Jokowi tetap mengklaim bahwa revisi UU KPK dilakukan untuk memperkuat lembaga antirasuah itu.

Ia menegaskan, UU KPK sudah tak mengalami perubahan selama 17 tahun sehingga perlu penyempurnaan.

"KPK tetap dalam posisi kuat dan terkuat dalam pemberantasan korupsi. Ini tugas kita bersama," kata Jokowi.

Baca juga: Presiden Jokowi: Revisi UU Jangan Ganggu Independensi KPK

Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasywah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Berbagai aksi dukungan untuk KPK dilakukan berbagai elemen masyarakat setelah sebelumnya jajaran pimpinan bersama pegawai KPK menggelar aksi berkabung atas pelemahan terhadap KPK melalui revisi UU KPK oleh DPR serta seleksi capim KPK yang dinilai meloloskan orang-orang yang bermasalah. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso Selembar kain hitam yang menutupi logo KPK tersibak saat berlangsungnya aksi dukungan untuk komisi anti rasywah itu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Berbagai aksi dukungan untuk KPK dilakukan berbagai elemen masyarakat setelah sebelumnya jajaran pimpinan bersama pegawai KPK menggelar aksi berkabung atas pelemahan terhadap KPK melalui revisi UU KPK oleh DPR serta seleksi capim KPK yang dinilai meloloskan orang-orang yang bermasalah. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Tujuh poin perubahan

Jokowi sebelumnya juga berharap semua pihak bisa jernih dalam menyikapi rencana DPR dan pemerintah merevisi UU KPK. Sebab, tak sepenuhnya isi draf revisi yang diusulkan DPR dia setujui.

"Saya harap semua pihak bisa membicarakan isu ini dengan jernih, obyektif tanpa prasangka berlebihan," kata Jokowi.

Ada dua poin yang ditolak. Pertama, Jokowi tidak setuju KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan.

Kedua, Jokowi juga menolak jika pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tak lagi oleh KPK.

Baca juga: Penyerahan Mandat, Kegelisahan KPK, dan Menanti Langkah Jokowi...

Namun, ada juga sebagian yang disetujui Jokowi.

Misalnya pembentukan Dewan Pengawas KPK, penyadapan yang harus mendapat izin Dewan Pengawas KPK, hingga kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan suatu kasus.

Berikut tujuh poin perubahan yang disepakati:

1. Status Kedudukan Kelembagaan KPK

Setelah direvisi, status kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen.

Hal ini mengacu pada putusan MK Nomor 36 Tahun 2017.

Pada UU KPK sebelum direvisi, KPK disebut hanya lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

2. Dewan Pengawas KPK

Setelah UU KPK direvisi, tim penasihat KPK dihapus dan digantikan oleh Dewan Pengawas KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat anggota dan dipilih oleh presiden.

Dewan Pengawas KPK nantinya memiliki kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.

Dewan Pengawas KPK juga wajib melaporkan kinerja ke presiden dan DPR setahun sekali.

Baca juga: Tugas Dewan Pengawas, dari Izin Penyadapan hingga Evaluasi Pimpinan KPK

3. Pembatasan Fungsi Penyadapan oleh KPK

Setelah UU KPK direvisi, KPK diwajibkan meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap. Dewan pengawas memberikan izin penyadapan dalam waktu 1×24 jam.

UU KPK mengatur jangka waktu penyadapan selama 6 bulan dan dapat diperpanjang satu kali dalam jangka waktu yang sama.

KPK juga wajib memusnahkan hasil penyadapan yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Pihak yang menyimpan hasil penyadapan dijatuhi hukuman pidana.

4. Mekanisme Penerbitan SP3 oleh KPK

KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap perkara tipikor yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun.

SP3 juga harus dilaporkan ke dewan pengawas paling lambat satu minggu sejak dikeluarkannya SP3.

Berbeda dengan kewenangan SP3 di Polri dan Kejaksaan yang tak dibatasi waktu. Pembatasan hanya berdasarkan kedaluwarsa perkara sesuai ancaman hukuman.

Baca juga: KPK Punya Kewenangan Menerbitkan SP3 dengan Jangka Waktu 2 Tahun

5. Koordinasi KPK dengan Penegak Hukum

KPK wajib berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

KPK juga bisa mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan.

Sementara pasal sisipan dihapus, yakni Pasal 12A, terkait keharusan KPK berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan dihapus.

Pemerintah mengusulkan pasal ini untuk dihapus.

6. Mekanisme Penyitaan dan Penggeledahan

Setelah UU KPK direvisi, sebelum melakukan penggeledahan dan penyitaan, KPK mesti meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas.

Dewan Pengawas KPK bisa memberi/tidak memberi izin dalam waktu 1x24 jam sejak permintaan diajukan. Hal ini diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan 2.

Pada UU KPK sebelumnya, KPK tidak perlu meminta izin kepada siapa pun untuk menggeledah dan menyita, selama ada dugaan kuat serta bukti permulaan yang cukup.

7. Status Kepegawaian KPK

Status kepegawaian KPK sebagai ASN dan tunduk pada ketentuan UU ASN. Pengangkatan pegawai juga sesuai UU ASN.

Status pegawai KPK ini juga sempat jadi kritik. Sebab, apabila pegawai KPK menjadi ASN, ditengarai bisa mengganggu independensi pegawai KPK, terlebih lagi yang ditangani adalah pejabat negara yang statusnya lebih tinggi dari pegawai tersebut.

Begitu pula saat melakukan pencegahan, berpotensi tidak optimal karena yang disuruh adalah penyelenggara negara dengan tingkatan lebih tinggi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Kronologi Kabar Dugaan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu, Bermula dari Mahfud MD

Kronologi Kabar Dugaan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu, Bermula dari Mahfud MD

Nasional
Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies Lebih Kecil di Kalangan Perempuan

Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Ganjar, Prabowo, dan Anies Lebih Kecil di Kalangan Perempuan

Nasional
Hari Ini, KPK dan Dewas Beri Jawaban Gugatan Praperadilan MAKI terkait Lili Pintauli

Hari Ini, KPK dan Dewas Beri Jawaban Gugatan Praperadilan MAKI terkait Lili Pintauli

Nasional
Dugaan Korupsi Tukin di Kementerian ESDM: Uang Puluhan Miliar Rupiah untuk Beli Aset dan Suap Pemeriksaan BPK

Dugaan Korupsi Tukin di Kementerian ESDM: Uang Puluhan Miliar Rupiah untuk Beli Aset dan Suap Pemeriksaan BPK

Nasional
Survei Litbang 'Kompas': Tokoh dengan Pribadi Sederhana Jadi Daya Tarik bagi Perempuan Memilih Capres

Survei Litbang "Kompas": Tokoh dengan Pribadi Sederhana Jadi Daya Tarik bagi Perempuan Memilih Capres

Nasional
Polemik Hotel Sultan, Kuasa Hukum PT Indobuildco: Status HGB No 26/Gelora dan HGB No 27/Gelora Sah di Mata Hukum

Polemik Hotel Sultan, Kuasa Hukum PT Indobuildco: Status HGB No 26/Gelora dan HGB No 27/Gelora Sah di Mata Hukum

BrandzView
Saat Sri Mulyani Jawab Dugaan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun: Kaget hingga Klaim Tak Semua Terkait Kemenkeu

Saat Sri Mulyani Jawab Dugaan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun: Kaget hingga Klaim Tak Semua Terkait Kemenkeu

Nasional
Saat Keponakan Wamenkumham Resmi Jadi Tersangka Buntut Pencatutan Nama untuk Minta Uang...

Saat Keponakan Wamenkumham Resmi Jadi Tersangka Buntut Pencatutan Nama untuk Minta Uang...

Nasional
Nasib Santunan Gagal Ginjal Akut: Sempat Saling Lempar, Akhirnya Dibahas Empat Kementerian

Nasib Santunan Gagal Ginjal Akut: Sempat Saling Lempar, Akhirnya Dibahas Empat Kementerian

Nasional
Pemerintah Lobi FIFA soal Israel: Sudah Ajukan Syarat, tapi Tidak Diterima

Pemerintah Lobi FIFA soal Israel: Sudah Ajukan Syarat, tapi Tidak Diterima

Nasional
Kajian TII: Penanganan Pandemi Covid-19 Dominan ke Pemulihan Ekonomi Jadi Sebab Kasus Melonjak

Kajian TII: Penanganan Pandemi Covid-19 Dominan ke Pemulihan Ekonomi Jadi Sebab Kasus Melonjak

Nasional
Saat Jokowi Beri Perintah ke PPATK dan Mahfud MD soal Kehebohan Transaksi Janggal di Kemenkeu...

Saat Jokowi Beri Perintah ke PPATK dan Mahfud MD soal Kehebohan Transaksi Janggal di Kemenkeu...

Nasional
Penggugat Berharap MK Sidangkan 'Judicial Review' Pasal Pemilu Susulan atau Lanjutan secara Cepat

Penggugat Berharap MK Sidangkan "Judicial Review" Pasal Pemilu Susulan atau Lanjutan secara Cepat

Nasional
[POPULER NASIONAL] Hasil Survei Anies Menurun-Prabowo Rebound | Kriminalisasi Budi Pego Tak Masuk Akal

[POPULER NASIONAL] Hasil Survei Anies Menurun-Prabowo Rebound | Kriminalisasi Budi Pego Tak Masuk Akal

Nasional
Survei SMRC: Masyarakat Nilai Kinerja Jokowi Positif Cenderung Pilih Ganjar, Negatif Dukung Prabowo

Survei SMRC: Masyarakat Nilai Kinerja Jokowi Positif Cenderung Pilih Ganjar, Negatif Dukung Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke