JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, Presiden Joko Widodo dan DPR terkesan tidak peduli dengan masukan publik terkait revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Feri menanggapi disahkannya revisi UU KPK dalam rapat paripurna di DPR, Selasa (17/9/2019).
"Karena ini sudah direncanakan dengan baik dan terencana oleh Presiden dan DPR sedari awal. Saya menduga memang arahnya Presiden dan DPR tidak peduli masukan publik ya," kata Feri saat dihubungi, Selasa.
Itu sebabnya, kata Feri, proses revisi UU KPK ini terkesan menabrak aturan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca juga: Revisi UU KPK, Sikap Pasif Jokowi Disayangkan
Dalam Pasal 45 Ayat (1) dinyatakan bahwa rancangan undang-undang baik yang berasal dari DPR, Presiden dan rancangan undang-undang yang diajukan DPD ke DPR disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sedangkan revisi UU KPK tak masuk dalam Prolegnas Tahun 2019.
Selain itu, proses revisi UU KPK juga dinilainya melanggar Pasal 112 dan 113 pada Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
"Makanya dengan ketidakpeduliannya dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan, menurut saya memang ini adalah langkah yang mengabaikan banyak hal, ketentuan hukum demi kepentingan orang atau sekolompok orang tertentu yang tidak ingin KPK itu kuat," ujar Feri.
"Jadi ya ini konsekuensi kalau kemudian Presiden dan DPR kita tidak mau mendengarkan apa yang benar dan tidak taat kepada ketentuan undang-undang. Jadi semuanya justru dilanggar, diabaikan, tanpa peduli aspirasi publik, mereka terus berjalan," kata dia.
Baca juga: Kekhawatiran Setelah UU KPK Direvisi...
Ia juga menilai pasal hasil revisi ada yang bermasalah dan berisiko melemahkan KPK.
Misalnya, Pasal 46 hasil revisi berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan pemeriksaan tersangka dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana"
Sementara di UU KPK yang berlaku sebelumnya, Pasal 46 memiliki dua ayat.
Ayat (1) berbunyi, "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini".
Kemudian Ayat (2) berbunyi, "Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka"
Menurut Feri, itu memperlihatkan bahwa tindak pidana korupsi sudah tidak lagi bersifat khusus, dia dikembalikan di delik umum.