Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Pemerintah dan DPR Diam-diam Rampungkan RKUHP...

Kompas.com - 17/09/2019, 11:47 WIB
Kristian Erdianto,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - DPR dan pemerintah telah merampungkan seluruh substansi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Anggota Tim Panitia Kerja (Panja) DPR Arsul Sani mengatakan, setelah disepakati pihaknya tinggal merumuskan redaksional pasal-pasal tertentu. Setelah itu pembahasan akan dilanjutkan ke tingkat I yakni Rapat Pleno Komisi III.

"Kami sudah selesaikan pembahasannya, tinggal perumusan redaksional pasal-pasal tertentu dan ya kemudian akan kita bawa ke pembicaraan tingkat I Rapat Pleno komisi III," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).

Arsul mengatakan, seluruh isi rancangan yang sebelumnya menjadi perdebatan telah disepakati oleh Tim Panja DPR dan Pemerintah.

Baca juga: Pembahasan Tertutup, DPR Diminta Tunda Pengesahan RKUHP

Setidaknya terdapat tujuh isu yang menjadi pengganjal proses pembahasan yakni, hukum yang hidup di masyarakat (Hukum Adat), pidana mati, penghinaan terhadap presiden, tindak pidana kesusilaan, tindak pidana khusus, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Menurut Arsul ketujuh isu tersebut telah disepakati dalam Rapat Panja, pada Sabtu (14/9/2019) dan Minggu (15/9/2019) di Hotel Fairmont Senayan Jakarta.

Arsul juga tidak menampik bahwa rapat tersebut digelar secara tertutup.

"Sudah semua. iya (rapat tertutup di Hotel Fairmont). paralel, RUU Pemasyarakatan dulu baru RKUHP," kata Arsul.

Kendati demikian, draf terbaru RKUHP justru mendapat kritik dari organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai masih terdapat banyak ketentuan pasal yang bermasalah.

Lima substansi dari banyak pasal yang dianggap masih bermasalah yakni, penerapan hukuman mati, tindak pidana makar, pasal warisan kolonial, pidana terhadap proses peradilan, dan living law.

Sementara itu, DPR menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).

Baca juga: Dibahas Tertutup, DPR dan Pemerintah Sepakati RKUHP

Menuai kritik

Pembahasan RKUHP antara DPR dan pemerintah menuai kritik dari masyarakat sipil karena dilakukan secara tertutup dan terkesan diam-diam.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) sekaligus anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Anggara Suwahju, mengatakan, masyarakat sipil sama sekali tidak mendapatkan informasi bahwa pembahasan RKUHP akan dilakukan pada pada Sabtu (14/9/2019) dan Minggu (15/9/2019) di Hotel Fairmont Senayan Jakarta.

"Kami juga tidak dapat mengakses informasi atau dokumen apapun dari hasil rapat tertutup tersebut," ujar Anggara kepada Kompas.com, Senin (16/9/2019).

Selain itu, Anggara juga mengkritik rapat pembahasan yang dilakukan akhir pekan dan dilaksanakan di sebuah hotel.

"Selain karena pembahasan dilakukan di akhir pekan, juga karena pembahasan tidak tercantum pada jadwal Komisi III dan tertutup karena dilakukan di hotel bukan di ruang rapat Panja RKUHP Komisi III," kata Anggara.

Baca juga: Banyak Regulasi Lain, Pasal Contempt of Court RKUHP Dinilai Tak Perlu

Anggara menyayangkan rapat pembahasan yang dilakukan secara diam-diam dan tidak melibatkan masyarakat sipil.

Padahal, materi pasal RKUHP masih banyak yang dinilai kontroversial dan berpengaruh terhadap masyarakat.

Sementara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan rancan undang-undang seharusnya dilakukan secara terbuka.

Oleh sebab itu, Anggara meminta pengesahan RKUHP ditunda.

"Pembahasan RKUHP yang tertutup jelas menciderai kepercayaan dan amanat rakyat. RKUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda," ucap Anggara.

Baca juga: ICJR: Pasal Perzinaan dalam RKUHP Perlu Dihapus

Berdasarkan catatan ICJR, pembahasan terbuka terakhir dilakukan oleh Pemerintah dan DPR pada 30 Mei 2018.

Artinya hampir 1,5 tahun, tidak ada pembahasan yang terbuka untuk diakses publik.

Unjuk rasa

Sementara itu, Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi dan sejumlah masyarakat sipil menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).

Mereka menolak rencana pengesahan RKUHP yang dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Selain itu, mereka menilai beberapa pasal juga dinilai tak sesuai dengan prinsip dan berpotensi memberangus kebebasan berpendapat.

Baca juga: Kritik Terhadap Pasal Karet dalam RKUHP dan Potensi Ancaman Bagi Korban Perkosaan

Dalam aksinya tersebut mereka membuat penjara buatan di atas mobil pengeras suara. Dari balik jeruji besi itu, perwakilan elemen masyarakat sipil menyampaikan orasi.

Kemudian di bawah podium tempat orasi dibentangkan sebuah spanduk bertuliskan "Freedom in Danger". Kebebasan dalam bahaya.

Hal itu dilakukan sebagai simbol matinya demokrasi jika RKUHP disahkan.

"Kalau RKUHP disahkan banyak yang akan dikriminalisasi. Semua masalah solusinya penjara," ujar Lini Zurlia, salah satu anggota aliansi saat berorasi.

Salah satu pasal yang disoroti yakni Pasal 417 mengenai ketentuan pidana terhadap segala bentuk persetubuhan di luar perkawinan.

Pasal tersebut dianggap telah melanggar ranah privat warga negara. Selain itu pasal ini juga dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan.

"Urusan ranjang, bukan urusan negara," ujar Ryan, salah satu anggota aliansi, saat berorasi di atas mobil pengeras suara.

Secara terpisah, peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpendapat bahwa pasal perzinaan dalam RKUHP perlu dihapus. Sebab, pasal tersebut menunjukkan negara terlalu jauh mencampuri ranah privat warga negara.

"Kita mintanya pasal itu dihapus karena ya isunya privat, dampak bawaannya itu luas sekali," ujar Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019).

Baca juga: Koalisi Pemantau Peradilan Menolak Delik Contempt of Court Diatur Dalam RKUHP

Dalam Pasal 417 draf RKUHP, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II.

Kemudian, pada Pasal 419, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Kedua, tindak pidana tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua, atau anak.

Dampak lainnya menurut Erasmus, pasal tersebut berpotensi menimbulkan praktik main hakim sendiri di tengah masyarakat.

Meski merupakan delik aduan, namun tidak dapat dipastikan masyarakat mengetahui bahwa perzinaan hanya dapat diadukan oleh suami, istri, orang tua atau anak.

"Nanti bisa terjadi main hakim sendiri. Masyarakat kan bisa jadi tidak tahu kalau itu delik aduan. Tahunya kan perzinaan tidak boleh, nanti bisa jadi malah main hakim sendiri," kata Erasmus.

Selain itu, Erasmus juga menyoroti ketentuan pengaduan yang bisa dilakukan oleh orang tua. Ia menilai hal itu justru dapat meningkatkan angka perkawinan anak.

Berdasakan catatan ICJR, 89 persen perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.

"Yang bisa mengadu jangan termasuk orang tua karena bisa menimbulkan perkawinan usia anak. Jadi yang mengadukan itu suami, istri atau anak saja," ucap Erasmus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25-30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25-30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho, Jelang Disidang Dewas KPK Karena Masalah Etik

Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho, Jelang Disidang Dewas KPK Karena Masalah Etik

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

Nasional
'Groundbreaking' IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

"Groundbreaking" IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

Nasional
Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Nasional
Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Nasional
PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com