Hal itu dilakukan sebagai simbol matinya demokrasi jika RKUHP disahkan.
"Kalau RKUHP disahkan banyak yang akan dikriminalisasi. Semua masalah solusinya penjara," ujar Lini Zurlia, salah satu anggota aliansi saat berorasi.
Salah satu pasal yang disoroti yakni Pasal 417 mengenai ketentuan pidana terhadap segala bentuk persetubuhan di luar perkawinan.
Pasal tersebut dianggap telah melanggar ranah privat warga negara. Selain itu pasal ini juga dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan.
"Urusan ranjang, bukan urusan negara," ujar Ryan, salah satu anggota aliansi, saat berorasi di atas mobil pengeras suara.
Secara terpisah, peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpendapat bahwa pasal perzinaan dalam RKUHP perlu dihapus. Sebab, pasal tersebut menunjukkan negara terlalu jauh mencampuri ranah privat warga negara.
"Kita mintanya pasal itu dihapus karena ya isunya privat, dampak bawaannya itu luas sekali," ujar Erasmus saat dihubungi Kompas.com, Kamis (29/8/2019).
Baca juga: Koalisi Pemantau Peradilan Menolak Delik Contempt of Court Diatur Dalam RKUHP
Dalam Pasal 417 draf RKUHP, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II.
Kemudian, pada Pasal 419, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Kedua, tindak pidana tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orangtua, atau anak.
Dampak lainnya menurut Erasmus, pasal tersebut berpotensi menimbulkan praktik main hakim sendiri di tengah masyarakat.
Meski merupakan delik aduan, namun tidak dapat dipastikan masyarakat mengetahui bahwa perzinaan hanya dapat diadukan oleh suami, istri, orang tua atau anak.
"Nanti bisa terjadi main hakim sendiri. Masyarakat kan bisa jadi tidak tahu kalau itu delik aduan. Tahunya kan perzinaan tidak boleh, nanti bisa jadi malah main hakim sendiri," kata Erasmus.
Selain itu, Erasmus juga menyoroti ketentuan pengaduan yang bisa dilakukan oleh orang tua. Ia menilai hal itu justru dapat meningkatkan angka perkawinan anak.
Berdasakan catatan ICJR, 89 persen perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.
"Yang bisa mengadu jangan termasuk orang tua karena bisa menimbulkan perkawinan usia anak. Jadi yang mengadukan itu suami, istri atau anak saja," ucap Erasmus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.