JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi dan sejumlah masyarakat sipil menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019).
Mereka menolak rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Selain itu, mereka menilai, beberapa pasal juga tak sesuai dengan prinsip dan bisa memberangus kebebasan berpendapat.
Dalam aksinya tersebut, mereka membuat penjara buatan di atas mobil pengeras suara. Dari balik jeruji besi itu, perwakilan elemen masyarakat sipil menyampaikan orasi.
Baca juga: DPR Terbuka Soal Penghilangan Kata Penghinaan Agama dalam RUU KUHP
Kemudian, di bawah podium tempat orasi, dibentangkan sebuah panduk bertuliskan "Freedom in Danger" yang artinya kebebasan dalam bahaya.
Menurut massa, demokrasi akan mati jika RKUHP disahkan.
"Kalau RKUHP disahkan banyak yang akan dikriminalisasi. Semua masalah solusinya penjara," ujar Lini Zurlia, salah satu anggota aliansi saat berorasi.
DPR menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, rapat paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Kendati demikian, draf terbaru RKUHP mendapat kritik dari organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai masih terdapat banyak ketentuan pasal yang bermasalah.
Lima substansi dari banyak pasal yang dianggap masih bermasalah, yakni penerapan hukuman mati, tindak pidana makar, pasal warisan kolonial, pidana terhadap proses peradilan, dan living law.
Sementara itu, proses pembahasan RKUHP antara DPR dan pemerintah selama ini juga menuai kritik dari masyarakat.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai, pembahasan tersebut dilakukan secara tertutup dan terkesan diam-diam.
Baca juga: Rumusan Pasal Pidana Terhadap Agama dalam RUU KUHP Masih Dapat Berubah
Menurut dia, masyarakat sipil sama sekali tidak mendapatkan informasi bahwa pembahasan RKUHP akan dilakukan pada pada Sabtu (14/9/2019) dan Minggu (15/9/2019) di Hotel Fairmont Senayan Jakarta.
"Kami juga tidak dapat mengakses informasi atau dokumen apa pun dari hasil rapat tertutup tersebut," ujar Anggara kepada Kompas.com, Senin (16/9/2019).
Selain itu, Anggara mengkritik rapat pembahasan yang dilakukan akhir pekan dan dilaksanakan di sebuah hotel.