JAKARTA, KOMPAS.com - Status kedudukan KPK menjadi salah satu poin yang dibahas DPR RI dan pemerintah dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Penelusuran Kompas.com, UU KPK menyebut KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017.
Namun, pada Pasal 3 draf RUU KPK versi Badan Legislatif DPR RI, frasa "bebas dari pengaruh kekuasaan manapun" dihapus.
Baca juga: Saut Situmorang: Korupsi Masih Kejahatan Luar Biasa, Kenapa UU KPK Harus Diubah?
Pemerintah sendiri mengusulkan agar kedudukan KPK tidak diutak-utik. Artinya, pemerintah ingin agar ketentuan kembali ke rumusan awal, mengacu pada putusan MK.
Tidak hanya soal status kedudukan, sejumlah hal juga menjadi pembahasan. Total, terdapat 29 poin di revisi UU KPK yang sedang dibahas.
Kewenangan KPK dalam pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN misalnya. Draf versi Baleg mengusulkan KPK tak lagi memiliki kewenangan akan hal itu.
Pemerintah tidak setuju. Pemerintah memilih KPK tetap mengatur wewenang terkait LHKPN.
Hanya ditambahkan ketentuan bahwa KPK wajib melaporkan data LHKPN yang masuk kepada Presiden, DPR RI dan BPK, satu kali dalam setahun.
Baca juga: DPR-Pemerintah Bahas 29 Poin Revisi UU KPK yang Berpotensi Melemahkan
Kewenangan KPK di dalam melakukan supervisi juga dinegosiasikan. Draf versi Baleg menghapus frasa "instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik" pada UU KPK.
Implikasinya, instansi yang bergerak dalam pelayanan publik tidak lagi berada dalam supervisi KPK.
Selain itu, Pasal 9 UU KUHP menyebut, penyidik KPK bisa mengambilalih perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Sementara, dalam draf revisi UU KPK versi Baleg, KPK hanya berwenang mengambil perkara dalam tahapan penyidikan.
Artinya, KPK berpotensi kehilangan kewenangannya di dalam mengambilalih perkara dari aparat penegak hukum lain pada tahap penuntutan.
Kendati demikian, pemerintah mengusulkan agar pasal tersebut dikembalikan ke ketentuan awal.
Baca juga: Petinggi Rohde and Schwarz Transfer Uang untuk Fayakhun Andriadi dari Rekening Luar Negeri
Hal lain yang tak kalah penting, yakni terkait wewenang KPK memblokir rekening milik tersangka kasus korupsi.
Pasal 12 ayat (2) huruf C UU KPK menyebutkan, KPK memerintahkan bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.
DPR menambahkan frasa, "menyertakan penjelasan secara detail mengenai keterkaitan rekening dimaksud dengan perkara tindak korupsi yang ditangani".
Pemerintah tidak sepakat karena poin revisi yang diusulkan DPR tersebut menyebabkan rentannya sebuah perkara korupsi bocor ke pihak lain.
Ada pula pasal sisipan, yakni Pasal 12A, terkait keharusan KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan dalam melaksanakan penuntutan. Pemerintah mengusulkan pasal ini untuk dihapus.
Baleg DPR bersama pemerintah diketahui telah mulai membahas revisi Undang-Undang KPK.
Pada Jumat (13/9/2019), DPR serta pemerintah menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) secara tertutup untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) rancangan undang-undang.