JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah mulai membahas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Pada Jumat (13/9/2019) lalu, DPR dan pemerintah menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) secara tertutup untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) rancangan undang-undang.
Meski demikian, pembahasan revisi rupanya tidak hanya terbatas pada lima isu yang belakangan menjadi polemik.
Baca juga: INFOGRAFIK: Klaim dan Fakta Pernyataan Jokowi soal Revisi UU KPK
Kelima isu tersebut diketahui terkait independensi KPK, pembentukan Dewan Pengawas, pengetatan penyadapan, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan status penyelidik-penyidik KPK.
Kompas.com mencoba menelusuri satu per satu poin DIM rancangan undang-undang, kemudian membandingkannya dengan UU KPK.
Dari penelusuran tersebut, setidaknya ada 29 poin perubahan yang tengah dibahas oleh DPR dan Pemerintah.
Sebagaian besar poin perubahan pernah disoroti oleh Persatuan Guru Besar Indonesia (Pergubi).
"Kami menolak revisi atau perubahan UU KPK yang akan memangkas kewenangan dan melemahkan KPK," ujar Guru Besar Universitas Nasional Jakarta Lijan Poltak Sinambela di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Baca juga: Revisi UU KPK, Masa Depan Lembaga Antikorupsi, dan Menagih Janji Kampanye Jokowi...
Terkait status kedudukan kelembagaan misalnya, dalam draf perubahan disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang masuk dalam rumpun eksekutif. Hal ini mengacu pada putusan MK Nomor 36 Tahun 2017.
Pada UU KPK, hanya menyebut KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam Pasal 3 draf RUU KPK versi baleg DPR, frasa "bebas dari pengaruh kekuasaan manapun" dihapus. Namun pemerintah mengusulkan ketentuan kembali ke rumusan awal, mengacu pada putusan MK.
Baca juga: Selain Pencegahan, KPK Tegaskan OTT Tetap Perlu Dilakukan
Pasal 6 terkait tugas KPK. Dalam draf, ketetentuan soal pencegahan diletakkan di atas ketentuan penindakan. Sedangkan di UU KPK, penindakan di atas pencegahan.
Kemudian, DPR menghilangkan kewenangan KPK terkait pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN. Pemerintah tidak setuju dan mengembalikannya sesuai ketentuan yang diatur dalam UU KPK saat ini.
Ditambahkan pula ketentuan mengenai kewajiban KPK melaporkan satu kali salam setahun ke Presiden, DPR dan BPK.
Terkait kewenangan KPK melakukan supervisi. Dalam draf, DPR menghapus frasa "instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik."
Implikasinya, instansi yang bergerak dalam pelayanan publik tidak lagi berada dalam supervisi KPK.
Baca juga: PDI-P Dukung Jokowi Merevisi UU KPK, Ini Alasannya...
Ada pula hilangnya kewenangan KPK dalam mengambilalih perkara dari APH lain dalam tahap penuntutan.
Pasal 9 UU KPK menyatakan, KPK bisa mengambilalih perkara dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Sementara dalam draf RUU usulan DPR, KPK hanya berwenang mengambil perkara dalam hal penyidikan.
Kendati demikian, pemerintah mengusulkan agar pasal tersebut dikembalikan ketentuan awal.
Poin lain, hilangnya kewenangan KPK untuk menindak perkara korupsi yang mendapatkan perhatian atau meresahkan masyarakat di Pasal 11 draf RUU KPK.
Pasal 12 ayat (2) huruf C draf RUU KPK, terkait kewenangan KPK memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.
Baca juga: Revisi UU KPK Diduga Muncul untuk Hentikan Kasus Besar
Dalam pasal ini, terdapat penambahan frasa "menyertakan penjelasan secara detail mengenai keterkaitan rekening dimaksud dengan perkara tindak korupsi yang ditangani."
Pemerintah tidak sepakat dengan penambahan frasa itu karena berpotensi kebocoran informasi terkait penyidikan suatu perkara.
Dalam draf RUU terdapat juga pasal sisipan, yakni Pasal 12A, terkait keharusan KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan dalam melaksanakan penunututan. Sementara, pemerintah mengusulkan pasal ini untuk dihapus.