JAKARTA, KOMPAS.com - Pada Jumat (13/9/2019) malam, sekitar pukul 18.15 WIB, sejumlah alat pengeras suara disiapkan di depan lobi Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta.
Pegawai-pegawai KPK yang masih bekerja hingga malam hari, satu per satu turun dan berkumpul di lobi.
Di luar lobi, jurnalis dari berbagai media elektronik, cetak, dan online sudah membentuk barisan rapi.
Sekitar pukul 19.30 WIB, pegawai KPK menyanyikan lagu "Maju Tak Gentar" sembari bertepuk tangan. Mereka yang sempat berkerumun, membelah menjadi dua barisan.
Tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang melewati celah barisan tersebut untuk ke luar lobi. Ketiganya tampak didampingi Penasihat KPK Tsani Annafari dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Baca juga: Mahfud MD: Sekarang Waktunya Presiden Ajak Bicara Pimpinan KPK
Raut wajah mereka tidak seperti biasanya ketika bertemu media. Kali ini, ketiganya nampak murung. Tidak ada senyum yang merekah di wajah mereka.
Iring-iringan lagu "Maju Tak Gentar" pun berhenti. Di saat itulah Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, pimpinan KPK menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah itu ke Presiden Joko Widodo.
"Kami selaku pimpinan, yang merupakan penanggung jawab tertinggi di KPK, dengan berat hati pada hari ini Jumat 13 September. Kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden RI," kata Agus, dalam konferensi pers, malam itu.
Ia menyatakan, pimpinan akan menunggu perintah Presiden Jokowi, apakah mereka masih bisa dipercaya untuk memimpin lembaga antirasuah itu hingga Desember.
"Kami menunggu perintah apakah kemudian kami masih akan dipercaya sampai Desember? Atau kami menunggu perintah itu dan kemudian akan tetap beroperasional seperti biasa? Terus terang kami menunggu perintah itu," ujar dia.
Baca juga: Tiga Pimpinan KPK Serahkan Mandat KPK ke Presiden, Apa Alasannya?
Pada momen itu, Agus mengungkap kegelisahan pimpinan dan jajaran KPK belakangan ini. Ia merasa iklim pemberantasan korupsi semakin mencemaskan.
Agus Rahardjo juga merasa lembaga yang ia pimpin seperti diserang dari berbagai sisi.
"Yang sangat kami prihatin dan mencemaskan adalah revisi Undang-Undang KPK. Karena sampai hari ini kami draf yang sebetulnya saja tidak tahu," kata Agus.
"Rasanya, membacanya, seperti sembunyi-sembunyi. Saya juga dengar rumor dalam waktu yang sangat dekat akan kemudian diketok, disetujui," tuturnya.
"Ada kegentingan apa sih? Ada kepentingan apa? Sehingga harus buru-buru disahkan," tanya Agus Rahardjo.
Agus menuturkan, tidak adanya draf revisi yang diterima KPK membuat dirinya dan pimpinan lain kesulitan ketika ditanya pegawai-pegawai soal masalah revisi UU KPK itu.
"Bahkan, kemarin kami menghadap ke Menkumham (Yasonna Laoly) sebenarnya ingin mendapatkan draf resmi itu seperti apa, nah kemudian Pak Menteri menyatakan nanti akan diundang," ujar Agus.
"Tapi setelah baca (berita) Kompas pagi ini, rasanya sudah tidak diperlukan lagi konsultasi dengan banyak pihak, termasuk (dengan) KPK," kata dia.
Baca juga: Nilai Revisi UU KPK Dilakukan Tersembunyi, Pimpinan KPK: Ada Kepentingan Apa?
Agus merasa sangat prihatin karena proses revisi ini, Pemerintah dan DPR tak mengajak KPK untuk berdiskusi terkait revisi itu.
Agus merasa revisi UU KPK yang bermasalah ini berisiko melemahkan KPK.
"Kami sangat prihatian dan menilai mungkin ini apa betul mau melemahkan KPK? Terus terang penilaian yang masih sementara, tapi kami mengkhawatirkan itu (KPK dilemahkan)," kata dia.
Berangkat dari kegelisahan itu, Agus Rahardjo berharap KPK bisa diajak bicara oleh Presiden Jokowi terkait kegelisahan atas revisi UU KPK dan isu-isu lainnya yang berisiko melemahkan KPK.
"Semoga Bapak Presiden segera mengambil langkah-langkah untuk penyelamatan," tutur Agus.
Baca juga: Penyerahan Mandat KPK Dinilai Jadi Tamparan Keras bagi Jokowi
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, penyerahan mandat itu bisa menjebak Presiden Jokowi.
Menurut Yusril, penyerahan mandat atau tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden tidak dikenal dalam undang-undang.
Ia memandang Presiden bisa melanggar konstitusi apabila menerima mandat untuk mengelola lembaga antirasuah itu.
"Presiden tidak berwenang mengelola KPK. Presiden justru dapat dianggap melanggar konstitusi jika menjadi pengelola KPK," kata Yusril dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (15/9/2019), seperti dikutip Antara.
Baca juga: Yusril Nilai Penyerahan Mandat Pimpinan KPK Bisa Jadi Jebakan Buat Jokowi
KPK, kata Yusril, merupakan lembaga bersifat operasional yang menegakkan hukum dalam tindak pidana korupsi, seperti halnya Polri dan Kejaksaan Agung.
Sehingga, Presiden dinilainya tak bisa bertindak secara langsung dalam penegakkan hukum.
Ia juga menjelaskan, tata cara pengelolaan KPK telah diatur dalam UU KPK. Di sisi lain, tak ada aturan dalam UUD 1945 yang mengatur tentang KPK.
"Komisioner KPK bukanlah mandataris Presiden," kata Yusril.
Dengan demikian, karena UU KPK tak mengenal penyerahan mandat, pimpinan KPK dinilainya wajib menjalankan tugas dan tanggung jawab hingga masa jabatannya berakhir.
Baca juga: Mahfud MD: Secara Hukum, KPK Tak Bisa Serahkan Mandat ke Presiden
Sementara itu, Sekretaris Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) Petrus Selestinus menilai Pimpinan KPK saat ini tidak lagi seirama. Hal itu berisiko menimbulkan perpecahan.
Petrus menyoroti hanya Agus Rahardjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang saja yang tampil dalam penyerahan mandat itu. Sementara dua orang lainnya, Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan tak terlihat.
"Bisa saja Basaria dan Alex Marwata tidak diikutkan dalam keputusan terkait dengan sikap terakhir mengembalikan mandat itu kepada Presiden. Ini menunjukan perpecahan di dalam KPK sulit dielakkan," ujar Petrus dalam konferensi pers di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Minggu (15/9/2019).
Baca juga: Kritik Bagi Pimpinan KPK yang Tak Lagi Seirama...
Ia mengatakan, langkah penyerahan mandat itu juga berisiko menghambat upaya pemberantasan korupsi.
"Ini juga bukan pembangkangan, tapi pemboikotan, memacetkan pelaksanaan pemberantasan korupsi," ujar Petrus.
Ia berharap Agus dan kawan-kawan kembali memimpin dan menjalankan KPK lagi sesuai tugas dan fungsinya.
Baca juga: Firli Bahuri, Kontroversi, Petisi hingga Penolakan Pegawai KPK
Putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, Anita Wahid juga menyayangkan aksi pimpinan KPK.
Anita Wahid berharap dalam kondisi krusial seperti sekarang, pimpinan KPK tetap profesional.
Akan tetapi, Anita memahami langkah yang diambil KPK. Sebab, KPK sama sekali tak dilibatkan dalam proses revisi UU KPK yang dilakukan DPR dan disetujui Presiden ini.
Dia mengatakan, pengajuan UU KPK untuk direvisi dalam rapat DPR tanpa ada draf yang dikirim ke KPK.
Selain itu, permintaan KPK untuk bertemu dengan Presiden pun tak mendapat waktu.
"Saya paham pasti mereka berpikir, apa gunanya kami di sini kalau untuk perjuangkan apa yang di sini (KPK) saja tidak bisa? Saya menyesali, tapi memahami," kata dia.
Baca juga: Anita Wahid Memahami Langkah KPK Serahkan Mandat ke Presiden, tapi...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.