KOMPAS.com - Upaya pemberantasan korupsi yang di era ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya sudah dimulai sejak awal berdirinya Republik.
Sebelum ramai polemik revisi Undang-undang KPK, sejarah mencatat aturan dan dasar hukum pemberantasan korupsi telah direvisi berkali-kali.??
Dikutip dari buku KPK: Berdiri untuk Negeri (2019), pada tahun 1957 terbit Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Peraturan tentang pemberantasan korupsi itu dibuat atas keinginan penguasa militer saat itu, yakni Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Ada dua peraturan lanjutan yang juga dibuat.??
Pemerintah juga mengesahkan Undang-undang Nomor 74 tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya. Undang-undang itu menjadi dasar Orde Lama untuk membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN).
Ketuanya Jenderal AH Nasution dengan dua anggota yakni M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Pada masa itu, militer memegang kekuasaan besar atas pengelolaan negara.
Kekuasaan militer makin tak terkendali seiring dengan upaya militer mengambil alih aset perusahaan Belanda.
Militer ikut melibatkan diri dalam bisnis dan kekuasaan. ??Banyak pejabat militer baik di tingkat pusat atau militer memperkaya diri.
Jenderal Nasution berusaha memberantasnya dengan mencopot mereka yang ketahuan.??
Pada 1959, Undang-undang Keadaan Bahaya dicabut. Pemerintah menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.??
Di tahun yang sama, Pemerintah membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang diketuai oleh Sultan Hamengkubuwono IX. ??
Dikutip dari Jangan Bunuh KPK (2016), Bapekan menyelesaikan 402 dari 912 aduan masyarakat seputar penyelewengan jabatan dan korupsi.
Seperti KPK, Bapekan dipercaya masyarakat.??
Namun kala itu, situasi politik kacau. Kabinet dan perdana menteri digonta-ganti dan konstitusi yang tak jelas. Ini membuat upaya pemberantasan korupsi terlupakan.??