JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo telah menandatangani dan mengirimkan Surat Presiden (Supres) terkait revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke DPR RI.
Dengan adanya supres ini, maka revisi UU KPK mulai dibahas di lembaga legistlatif itu.
Namun, langkah tersebut disayangkan sejumlah pihak.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun menilai, terbitnya Supres ini membuat komitmen Jokowi pada pemberantasan korupsi dipertanyakan.
Dengan terbitnya Supres ini, pemerintah setuju untuk membahas revisi UU KPK bersama DPR.
Baca juga: Jokowi Terbitkan Surpres Revisi UU KPK, Laode: Ini Preseden Buruk
Senada, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menganggap Supres Jokowi soal revisi UU KPK merupakan preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia.
Menurut dia, DPR dan pemerintah berkonspirasi untuk melucuti kewenangan KPK.
Sementara itu, Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu melihat kejanggalan dalam terbitnya Supres itu.
Dalam surat tersebut, Jokowi mengutus dua menterinya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin untuk membahas UU KPK bersama anggota dewan.
Ninik mengkritisi hanya dua menteri tersebut yang dilibatkan dalam pembahasan itu.
Baca juga: Ombudsman Nilai Ada Kejanggalan pada Surpres soal Revisi UU KPK
Bahkan, KPK tak ikut dilibatkan.
"Saya berpendapat bahwa keluarnya Supres revisi UU KPK ini menurut saya ada yang aneh. Selayaknya Supres revisi undang-undang lainnya, biasanya melibatkan kementerian/lembaga terkait," kata Ninik.
Ninik mencontohkan, untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kementerian untuk RUU Kesehatan, yang ditunjuk adalah Kementerian Kesehatan.
Tak libatkan KPK
Ninik mengatakan, seharusnya Presiden Jokowi memasukkan KPK sebagai lembaga yang berkepentingan dalam revisi ini.